BARISAN.CO – Era metaverse yang sudah di depan mata menjadi tantangan dalam pelestarian arsip, sejarah dan budaya. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pun menggelar acara bertajuk ‘Masa Depan Arsip, Sejarah, dan Budaya di Era Metaverse’ di Gedung ANRI di Jalan Ampera Raya No.7, Jakarta Selatan, pada Senin (5/12/2022).
Perbincangan dipandu oleh Tiara sebagai MC, dengan dua pembicara sesi pembuka, yakni Asep Kambali selaku Founder sekaligus Presiden Komunitas Historia Indonesia dan Stephen Ng selaku CEO Metaverse Indonesia.
Stephen dari WIR Group–perusahaan augmented reality (AR) yang sempat membantu pemilu di Nigeria, kemudian menjelaskan mengenai Nusameta, yakni ekosistem metaverse yang nantinya tidak hanya menampilkan AR, tetapi juga virtual reality (VR) dan artificial intelligence (AI).
“Kita kini tidak bisa lepas dari Metaverse karena teknologi seperti VR dan AR sudah digunakan di sekitar, termasuk industri atau kehidupan sehari-hari,” kata Stephen.
Menjelaskan soal metaverse terlebih dahulu, Stephen mendeskripsikannya sebagai dunia virtual yang nantinya kita tinggali bersama-sama. Nah, di balik itu, ada teknologi pendukung seperti AR, VR, dan AI.
Nusameta oleh WIR Group sendiri, hingga kini sudah ada ratusan produk yang telah bergabung. Nusameta juga sudah diperkenalkan di G20 lalu, dan kini terus disempurnakan. Nantinya diharapkan Nusameta sudah bisa dinikmati pada Q3 2023.
Mengenai elemen-elemen dalam metaverse, Stephen menyebut ada dua, yakni perekonomian dan peradaban. Khususnya peradaban, kini gen z disebut sudah mulai membiasakan kehidupan dengan metaverse dengan bermain game online.
Namun, ia juga menyebutkan perbedaan metaverse dengan video game, yakni sinkronisasinya.
“Perbedaan video game dengan Metaverse ada di sinkronisasinya. Metaverse tanpa logout, jadi berjalan linear dan tersinkronisasi dengan kehidupan,” kata Stephen.
Kemudian, mengenai kaitannya dengan pengarsipan, metaverse dinilai sebagai tempat yang cocok. Sebab, teknologi yang ada sebelum metaverse hanya untuk pengarsipan, seperti video dan suara.
Sementara di metaverse, peristiwa yang sudah terjadi bisa kembali dikreasikan ulang. Jadinya, pengakses arsip bisa seolah-olah berada di tempat kejadian.
“Tentu akan membawa pengalaman menjadi lebih menarik,” kata Stephen mengenai penggunaan metaverse terhadap arsip. “Jadi metaverse untuk belajar sejarah, bisa memberikan pengalaman seolah-olah berada di masa itu,” lanjutnya.
Sementara dari sisi sejarawan mengenai metaverse, Asep Kambali selaku Founder sekaligus Presiden Komunitas Historia Indonesia menyebutkan bahwa masih ada kesalahpahaman mengenai digital culture.
Kini, kebanyakan orang menganggap bahwa digital culture adalah memindahkan yang sudah ada menjadi digital. Padahal, alih-alih demikian, menurut Asep, digital culture atau budaya digigal adalah cara hidupnya.
“Digital culture, yang dipahami oleh orang-orang saat ini, adalah memindahkan Candi Borobudur ke digital, atau sebagainya. Namun sebetulnya, diigital culture itu adalah cara hidup, bagaimana kita menciptakan kehidupan baru di era digital,” ujar Asep.
Karena itu, menurut Asep, transformasi digital bukan sekadar mengganti teknologi, tapi juga mengubah paradigma berpikir. Salah satu paradigma berpikir yang mesti diubah adalah tidak membedakan alam nyata dengan maya.
“Padahal (alam nyata dengan maya) itu sama,” kata Asep. “Ketika berbicara kasar, efek yang diberikan akan sama. Karena biasanya kita bisa menggunakan nama atau foto samaran, kita jadi berani berbicara kasar. Padahal efeknya sama,” katanya lagi.