Scroll untuk baca artikel
Terkini

Nasib Arsip, Sejarah dan Budaya di Era Metaverse

Redaksi
×

Nasib Arsip, Sejarah dan Budaya di Era Metaverse

Sebarkan artikel ini

Karena itulah, menurutnya, metaverse disebut juga extended universe, berarti semesta tambahan yang  seharusnya tidak dibedakan.

Guna mengenalkan metaverse, Stephen pun turut menjelaskan beberapa istilahnya. Metaverse sendiri merupakan extended reality yang menggunakan web3, yakni 3D computing. Artinya, teks dan suara yang dihasilkan bisa dinikmati secara 3D.

Ada kemudian istilah blockchain, yakni dijelaskan sebagai sistem administratif yang bekerja dengan konsensus alias kesepakatan bersama. Dari blockchain, salah satu yang berhubungan adalah Non Fungible Token (NFT)–aset nilai tak tergantikan, berupa bukti kepemilikan.

“Seperti akta kelahiran sebagai bukti lahir, dan sebagainya. Kurang lebih seperti itu sederhananya. Semuanya hingga kini masih dan terus berevolusi,” ujar Stephen.

Perihal generasi z bisa dengan mudah menerapkan budaya metaverse ketimbang generasi di atasnya, Stephen menjelaskan bahwa kuncinya adalah relevansi. Ia menyebut bahwa teknologi adalah alat yang tidak perlu dipaksakan kegunaannya. Semakin relevan, maka bisa dengan mudah diterapkan.

“Seperti misalnya, orang tua, di tengah pandemi, jadi belajar menggunakan ojol untuk memesan makanan,” kata Stephen.

Mengenai potensi blockchain untuk arsip, Stephen menjelaskan bahwa teknologi tersebut merupakan yang paling ideal. Sebab, menurutnya,  penyimpanan arsip fisik saat ini secara volume akan berkembang, sehingga menjadi bencana bila nantinya ada peristiwa tak terduga.

“Dengan masuk ke blockchain, akan bisa lebih aman dan bisa disimpan dengan biaya bersama,” kata Stephen.

Hanya, masih menurut Stephen, tidak semua arsip bisa di-blockchain-kan karena ada yang merupakan arsip rahasia negara.

“Sehingga, dalam praktik transisinya, perlu benar-benar diawasi,” ujar Stephen.

Sesi kedua dengan tajuk “Enter the Metaverse” ada Aldi Raharja selaku Head of Blockchain Solution dan Joshua Budiman sebagai Head of Meta Space Solutions.

Menceritakan sejarah metaverse, awalnya dibuat untuk lari dari kenyataan. Hanya, bukan untuk meninggalkan realita, tetapi berkegiatan di realitas baru yang lebih menyenangkan guna refreshing.

Sementara Aldi, menyampaikan bahwa metaverse sebenarnya sudah ada sejak dulu. Seperti tahun 2000, sudah ada video game The Sims dan Second Life yang mirip metaverse. Adapun alasan sekarang kembali melejit, yakni karena teknologi sudah lengkap.

“AI canggih, cloud sudah bagus, dan sudah ada blockchain untuk memastikan bahwa aset itu merupakan milik kita. Kalau dulu, aset digital yang diunggah ke sebuah platform, misalnya Facebook, akan menjadi milik platform itu. Kini, dengan adanya blockchain, kita jadi punya hak terhadap aset digital tersebut,” ujar Aldi.

Lanjut ke sesi tiga yang bertajuk Changes and Opportunities bersama Pungkas Riyandi selaku NFT Solution Lead. Darinya, ia menjelaskan bahwa metaverse aman karena sistem blockchain mengamankan aset dari pencurian.

“Contohnya, Asep beli spidol dari Joshua Rp7.500. Kalau di dunia nyata, spidol Asep hilang apabila diambil pencuri,” kata Pungkas  memberi analogi. “Kalau Blockchain, aset dicuri, Asep tetap tercatat sebagai pemiliknya,” tambah Pungkas.

Menyebutkan fungsi ANRI di Nusameta nantinya, menurut Pungkas, bisa sebagai sumber konfirmasi terhadap aset yang ada di dalam metaverse.

“Seperti bila ada Candi Borobudur, maka ANRI bertugas sebagai pengkonfirmasi kebenaran soal informasinya,” kata Pungkas.

Sayangnya, meski menurut Pungkas metaverse itu adalah teknologi menjanjikan, masih belum banyak masyarakat yang belum mengakuinya.