Kini, kebanyakan orang menganggap bahwa digital culture adalah memindahkan yang sudah ada menjadi digital. Padahal, alih-alih demikian, menurut Asep, digital culture atau budaya digigal adalah cara hidupnya.
“Digital culture, yang dipahami oleh orang-orang saat ini, adalah memindahkan Candi Borobudur ke digital, atau sebagainya. Namun sebetulnya, diigital culture itu adalah cara hidup, bagaimana kita menciptakan kehidupan baru di era digital,” ujar Asep.
Karena itu, menurut Asep, transformasi digital bukan sekadar mengganti teknologi, tapi juga mengubah paradigma berpikir. Salah satu paradigma berpikir yang mesti diubah adalah tidak membedakan alam nyata dengan maya.
“Padahal (alam nyata dengan maya) itu sama,” kata Asep. “Ketika berbicara kasar, efek yang diberikan akan sama. Karena biasanya kita bisa menggunakan nama atau foto samaran, kita jadi berani berbicara kasar. Padahal efeknya sama,” katanya lagi.
Karena itulah, menurutnya, metaverse disebut juga extended universe, berarti semesta tambahan yang seharusnya tidak dibedakan.
Guna mengenalkan metaverse, Stephen pun turut menjelaskan beberapa istilahnya. Metaverse sendiri merupakan extended reality yang menggunakan web3, yakni 3D computing. Artinya, teks dan suara yang dihasilkan bisa dinikmati secara 3D.
Ada kemudian istilah blockchain, yakni dijelaskan sebagai sistem administratif yang bekerja dengan konsensus alias kesepakatan bersama. Dari blockchain, salah satu yang berhubungan adalah Non Fungible Token (NFT)–aset nilai tak tergantikan, berupa bukti kepemilikan.
“Seperti akta kelahiran sebagai bukti lahir, dan sebagainya. Kurang lebih seperti itu sederhananya. Semuanya hingga kini masih dan terus berevolusi,” ujar Stephen.
Perihal generasi z bisa dengan mudah menerapkan budaya metaverse ketimbang generasi di atasnya, Stephen menjelaskan bahwa kuncinya adalah relevansi. Ia menyebut bahwa teknologi adalah alat yang tidak perlu dipaksakan kegunaannya. Semakin relevan, maka bisa dengan mudah diterapkan.
“Seperti misalnya, orang tua, di tengah pandemi, jadi belajar menggunakan ojol untuk memesan makanan,” kata Stephen.
Mengenai potensi blockchain untuk arsip, Stephen menjelaskan bahwa teknologi tersebut merupakan yang paling ideal. Sebab, menurutnya, penyimpanan arsip fisik saat ini secara volume akan berkembang, sehingga menjadi bencana bila nantinya ada peristiwa tak terduga.
“Dengan masuk ke blockchain, akan bisa lebih aman dan bisa disimpan dengan biaya bersama,” kata Stephen.
Hanya, masih menurut Stephen, tidak semua arsip bisa di-blockchain-kan karena ada yang merupakan arsip rahasia negara.