Kritik tajam muncul dari publik yang menilai usulan gerbong rokok bertentangan hukum, logika, dan akal sehat.
BARISAN.CO – Usulan anggota DPR RI, Nasim Khan, terkait gerbong khusus merokok kembali menuai gelombang kritik.
Dalam debat publik yang digelar Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), kursi kosong milik Nasim Khan menjadi sorotan karena ia memilih absen dari forum yang seharusnya menjadi ajang pertanggungjawaban usulannya.
Ketua IYCTC, Manik Marganamahendra, menegaskan bahwa publik berhak mendapat penjelasan dari setiap kebijakan yang dilemparkan ke ruang publik.
“Usul ngawur sudah dilontarkan, tapi ketika ditantang untuk diuji, yang muncul hanya kursi kosong. Ini bukan hanya soal gerbong rokok, ini soal keberanian wakil rakyat untuk berdiri bersama rakyatnya,” kata Manik, Selasa (26/08/2025)
Sebelumnya, Nasim Khan sempat menyebut di kanal Garuda TV bahwa negara seharusnya bisa mengakomodasi 70 juta perokok di Indonesia. Namun, menurut Manik, angka itu bukan prestasi, melainkan potret kegagalan negara.
“70 juta perokok bukan kebanggaan, itu tragedi. Setiap tahun rokok merenggut lebih dari 290 ribu nyawa,” ujarnya.
Dalam forum, berbagai kalangan seperti mahasiswa, aktivis, ibu-ibu PKK, hingga perokok sendiri menilai logika Nasim Khan cacat. Ia dinilai melakukan perbandingan keliru (false equivalence) antara tidak merokok di rumah pribadi dengan usulan ruang merokok di kereta yang merupakan ruang publik.
Selain itu, ia juga terjebak kontradiksi karena mengaku “tahu diri” tidak merokok di rumah, namun justru mendorong ruang merokok di transportasi umum.
Secara hukum, usulan tersebut bertabrakan dengan UU Kesehatan dan PP No. 28/2024 yang menetapkan transportasi umum sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Bahkan, PT Kereta Api Indonesia (KAI) sejak 2012 sudah melarang merokok di seluruh rangkaian, menjadikannya pelopor transportasi sehat di Asia.
Dari sisi ekonomi, konsumsi rokok justru membebani negara. Kerugian akibat rokok pada 2015 mencapai Rp600 triliun, empat kali lipat penerimaan cukai.
Peserta forum juga menilai jika ide gerbong rokok diterapkan, KAI akan menanggung biaya tambahan seperti pembersihan residu asap, risiko kebakaran, hingga kerusakan pendingin yang pada akhirnya dibebankan ke publik.
Forum publik itu juga menyuarakan bahwa DPR seharusnya membuat kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy), bukan retorika populis yang mengakomodasi adiksi. Beberapa peserta bahkan menyebut usulan gerbong rokok sebagai isu pengalihan.
Manik menutup forum dengan pesan reflektif: “Hari ini kita melihat bagaimana sebuah usulan sembrono bisa dilemparkan, tapi ketika diminta pertanggungjawaban, justru tidak ada keberanian hadir. Kursi kosong ini adalah pengingat agar rakyat lebih jeli memilih wakilnya.”