BARISAN.CO – Maria Ressa, jurnalis kelahiran Manila, direktur utama portal media online Rappler, tukang kritik kebijakan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, meraih penghargaan Nobel Perdamaian 2021.
Dalam pengumumannya, Komite Nobel Norwegia menyebut bahwa Ressa telah menggunakan kebebasan berekspresi dan kemampuan jurnalistiknya untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan yang berkembang di Filipina. Lewat Rappler, Ressa telah menunjukkan diri sebagai pion kebebasan berekspresi yang tak kenal gentar.
Rappler banyak melancarkan kritiknya kepada pemerintah, terutama terhadap kampanye anti-narkoba Rodrigo Duterte yang sarat kontroversi. Kebijakan ini mengakibatkan banyak rakyat sipil mati—lebih kurang 29.000 jiwa mengacu data Kepolisian Nasional Filipina.
Tindakan Duterte itu dinilai sebagai abuse of power, penggunaan kekerasan, dan otoritarianisme.
Rappler secara intensif memublikasi hasil investigasi terkait itu dengan cukup gemilang. Atas sikap kritisnya, Maria Ressa dan Rappler berkali-kali menghadapi ancaman, teror, dan tuntutan.
Teror terhadap Ressa makin menjadi setelah Rappler, pada tahun 2016, menerbitkan artikel yang mengungkap cara para pendukung Duterte memanipulasi media sosial untuk menggalang dukungan dan menumpas lawan-lawan politiknya.
Merespons artikel-artikel Rappler, sikap Duterte sangat jelas: antipatik, bahkan pernah secara langsung mengatakan media itu adalah boneka yang ‘sepenuhnya’ milik Amerika Serikat. Rappler pun menjadi subjek penyelidikan aparat Filipina, hingga akhirnya Duterte sempat akan mencabut izin media tersebut pada 2018.
Secara pribadi Ressa juga sering difitnah pemerintah. Pada 2016 Ressa dituduh sebagai penjahat. Pada 2017 Duterte menuduh Ressa sebagai penjahat. Pada 2019, karena tuduhan yang diulang-ulang pada akhirnya menjadi kebenaran, Ressa dianggap sebagai penjahat.
Pada 2020, perempuan 58 tahun itu ditangkap dan divonis bersalah terkait Undang-Undang Fitnah di Media Sosial oleh pengadilan Filipina.
“Ada upaya pemerintah mengintimidasi dan melecehkan saya dan Rappler serta secara tidak langsung para wartawan lain,” kata Ressa, dikutip dari hasil wawancaranya dengan Tempo.
Dalam pada itu, Komite Nobel menilai perang anti-narkoba Duterte sebagai perang yang dilancarkan pemerintah terhadap penduduk sendiri. Dan Maria Ressa, menurut Komite Nobel, secara kritis berhasil membuka mata banyak orang akan adanya kampanye berdarah itu.
Ketua Komite Nobel Norwegia, Berit Reiss-Andersen, menyampaikan bahwa Ressa dan Rappler telah mendokumentasikan bagaimana media sosial digunakan untuk menyebarkan berita palsu, melecehkan lawan, dan memanipulasi wacana publik.
Reiss-Andersen juga menyebut Ressa adalah garda terdepan dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat yang menjadi syarat utama demokrasi dan perdamaian.
“Ressa merepresentasikan para jurnalis di berbagai belahan dunia yang menghadapi tantangan berat,” ujar Reiss-Andersen. [dmr]