BARISAN.CO – Komite Nobel Norweigia memberikan penghargaan Nobel Perdamaian kepada dua orang jurnalis, Maria Ressa dan Dmitry Muratov.
Komite menilai, kerja jurnalistik mereka di tengah rezim otoriter di negaranya masing-masing telah menjaga kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, dan itu sejalan dengan pesan Alfred Nobel.
Ketua Komite Nobel, Berit Reiss-Andersen, mengatakan bahwa hanya dengan jurnalisme yang independen, bebas, dan bekerja berdasar fakta lah masyarakat dapat terlindungi dari penyalahgunaan kekuasaan, kebohongan, dan propaganda.
“Kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi membantu memastikan masyarakat terinformasi dengan baik. Pemberian Nobel Perdamaian kepada Maria Ressa dan Dmitry Muratov dimaksudkan untuk menggarisbawahi pentingnya membela hak-hak dasar ini,” kata Reiss-Andersen, saat mengumumkan penghargaan Nobel Perdamaian.
Komite Nobel, kata Reiss-Andersen melanjutkan, menganggap dua jurnalis ini sebagai garda terdepan dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat yang menjadi syarat utama demokrasi dan perdamaian.
“Mereka merepresentasikan para jurnalis di berbagai belahan dunia yang menghadapi tantangan berat,” ujar Reiss-Andersen.
Profil Maria Ressa
Maria Ressa adalah jurnalis asal Filipina yang mendirikan media online Rappler pada 2012. Perempuan kelahiran Manila 58 tahun lalu ini aktif melancarkan kritiknya kepada pemerintah terutama terhadap kampanye anti-narkoba Rodrigo Duterte yang sarat kontroversi. Kebijakan ini mengakibatkan banyak rakyat sipil mati—lebih kurang 29.000 jiwa mengacu data Kepolisian Nasional Filipina.
Lewat Rappler, Maria Ressa juga mengkritik banyak tindakan Duterte yang menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan, dan otoritarianisme. Adapun Ressa juga pernah menerbitkan artikel yang menjelaskan dengan gamblang tentang bagaimana rezim Duterte memanfaatkan media sosial untuk memanipulasi wacana publik.
Atas sikap kritisnya, Maria Ressa dan Rappler berkali-kali menghadapi ancaman, teror, dan tuntutan. Oleh rezim Duterte, Rappler banyak dicurigai dan bahkan menjadi subjek penyelidikan aparat Filipina, hingga akhirnya Duterte sempat akan mencabut izin media tersebut pada 2018.
Secara pribadi, Ressa tak luput dari rundungan. Ia sering difitnah pemerintah. Pada 2016 Ressa dituduh sebagai penjahat. Pada 2017 Duterte menuduh Ressa sebagai penjahat. Pada 2019, karena tuduhan yang diulang-ulang pada akhirnya menjadi kebenaran, Ressa dianggap sebagai penjahat.
Pada 2020, perempuan 58 tahun itu ditangkap dan divonis bersalah terkait Undang-Undang Fitnah di Media Sosial oleh pengadilan Filipina.
“Ada upaya pemerintah mengintimidasi dan melecehkan saya dan Rappler serta secara tidak langsung para wartawan lain,” kata Ressa, dikutip dari hasil wawancaranya dengan Tempo.
Namun meski posisinya sangat rentan dan menerima banyak tekanan, Ressa membuktikan bahwa jurnalisme mampu mengubah situasi lebih baik dan mampu menjaga demokrasi.
Profil Dmitry Muratov
Tak jauh berbeda dengan Maria Ressa, Dmitry Muratov juga menghadapi rezim berwatak otoriter.
Dmitry Muratov adalah pemimpin redaksi Novaya Gazeta, salah satu koran ternama di Rusia yang kritisi terhadap pemerintahan Vladimir Putin.
Sikap kritis Novaya Gazeta telah secara konsisten ditunjukkan sejak media ini berdiri, 1993. Pilihan sikap ini bukan tanpa membawa petaka. Sekurang-kurangnya, sudah ada enam jurnalis Novaya Gazeta terbunuh akibat pemberitaan yang dibuat.
Hingga saat ini Novaya Gazeta masih menerima banyak ancaman. Walau begitu, media ini tetap saja intens menaikkan puluhan ribu artikel tentang korupsi, kekerasan polisi, penangkapan ilegal, hingga kecurangan pemilu.