Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Objektifikasi, Islamisasi versus Sekularisasi

Redaksi
×

Objektifikasi, Islamisasi versus Sekularisasi

Sebarkan artikel ini

Kita mengetahui bahwa Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Asyaukanie, Novriantoni, dan para “geng” paramadina, tak henti mengkampanyekan sekularisasi. Jargon “pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme”, jadi ikon para pengusung sekularisasi itu.

“Pertarungan” kutub islamisasi dengan kutub sekularisasi, hingga kini masih terasa memanas. Saling tuding kerap terlontar dari kedua kutub. Kutub Islamisasi, yang dikenal dengan gerakan skriptural/tekstual, dicurigai akan membawa Islam “garis keras”.

Fenomena teror, dan kekerasan berbasis agama, ide negara Islam sering dialamatkan pada pengusung islamisasi. Sebaliknya kutub sekularisasi, yang mencoba memilah secara sosiologis bukan filosofis, dunia-akhirat, disalahpahami, sebagai pendukung pragmatisme ala Orde Baru. Gagasan kebebasan berekspresi, ide pemisahan ekstrim agama-politik, dan negara sekuler, ditujukan kepada para pengusung sekularisasi.

Mencoba keluar dari kemelut “kubu-kubuan” tersebut, almarhum Kuntowijoyo, menggulirkan gagasan objektifikasi. Objektifikasi, yang saya tangkap dari tulisan-tulisannya, adalah upaya menerjemahkan teks kitab suci menjadi konteks atau kenyataan.

Hal itu mengandaikan adanya rumusan teori sosial yang berbasis teks. Teori yang diturunkan dari narasi teks kitab suci, baru kemudian diterjemahkan jadi ujud nyata. Kalau para pengusung sekularisasi, biasa berkutat pada hermeneutik, yaitu ilmu alat untuk menafsirkan teks, demi memahami kedalaman Islam, demi kebagusan “ilmu agama”.

Maka orientasi objektifikasi, bukan untuk memahami Islam, melainkan bagaimana menerapkan ajaran-ajaran sosial yang terkandung dalam teks menjadi konteks sosial di sini dan saat ini. Objektifikasi adalah upaya rasional menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunah menjadi fakta objektif.

Abad VII yang masa agraris, di saat kitab suci turun, jelas berbeda situasi dan kondisinya dengan abad ke-21, yang merupakan era teknik. Masa teknik ditandai dengan pola hidup yang serba rasional dan sistemik, tak terelakkan bagi teks kitab suci untuk dikontekstualisasikan.

Objektifikasi menjadi sintesa dari dua kutub: islamisasi versus sekularisasi. Mempertemukan dua kutub yang saling menegasikan, dengan besar harapan bakal menyelesaikan masalah keberagamaan masyarakat bawah. Maka, rahmatan lil ‘alamin bukan lagi jargon.