Scroll untuk baca artikel
Fokus

Obsesi Sejumlah Negara Mengawasi Internet Warganya

Redaksi
×

Obsesi Sejumlah Negara Mengawasi Internet Warganya

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COKapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo merespons arahan Presiden Joko Widodo soal pasal-pasal karet dalam UU ITE dengan meresmikan Polisi Virtual sejak Kamis (25/2).

Polisi Virtual sendiri dimaksudkan agar masyarakat tidak menyebarkan konten yang diduga melanggar hukum. Dan Indonesia, dalam hal itu, bukan yang pertama. Sudah ada negara lain yang ketat mengawasi kelakuan warganya di internet.

Mengutip dari laporan Freedom House berjudul Social Media Surveillance, China merupakan negara terdepan dalam mengembangkan, menggunakan, serta mengekspor alat pengawas untuk media sosial.

Sekurang-kurangnya, negara tirai bambu itu memiliki sistem yang mampu mengawasi lebih dari 200 juta atau seperempat pengguna internet di sana. Kontrol lalu lintas internet dilakukan dengan database yang diperbaharui setiap hari.

Jaringan regulasi yang kompleks memberi China akses ke konten dan metadata pengguna, yang memungkinkan pihak berwenang mengidentifikasi serta menegur pengguna yang membagikan konten sensitif.

Bahkan, beberapa wilayah dilaporkan juga memiliki sistem “cloud police” untuk mengepul data akun medsos, catatan telekomunikasi, aktivitas e-commerce, data biometrik, dan juga rekaman video pengawas.

Big data sistem kepolisian pun dapat menargetkan individu yang berintekasi dengan orang yang menjadi perhatian ataupun memiliki etnis tertentu—ini adalah bentuk eufimisme yang berlaku bagi minoritas muslim Uighur di sana.

Di Vietnam, pemerintah Partai Komunis pada Oktober 2018 mengumumkan unit pengawasan nasional baru yang dilengkapi dengan teknologi untuk menganalisis, mengevaluasi, serta mengategorikan jutaan postingan di media sosial.

Unit pengawasan itu sudah memakan korban. Pembela HAM dan aktivis Lingkungan Le Dinh Lurong dijatuhi hukuman 20 tahun penjara atas unggahannya di Facebook yang mengkritik pemerintah.

Selama bertahun-tahun, pemerintah Rusia juga telah menggunakan alat pengawas media sosial yang canggih. Sejak tahun 2012, dikembangkan satu metode terkait “social networks intelligence”, dan terciptalah teknologi pemantauan yang efektif menekan mobilisasi politik dari pihak yang dianggap ‘tidak sah’: banyak terjadi penangkapan dan penutupan internet karenanya.

Pada tahun 2019, Freedom House menemukan setidaknya dari 65 negara terdapat 47 negara yang melakukan penangkapan terhadap pidato politik, sosial, ataupun agama dengan rekor tertinggi. Pemantauan menyeluruh atas aktivitas online menambah segalanya menjadi lebih buruk. Dan negara-negara itu sejatinya—sudah—menuju otoriter.

Pada gilirannya, jelas bahwa banyak masyarakat sipil berpikir dua kali mengemukakan pandangannya di jagat maya. Dan itu jauh bertentangan dengan semangat demokrasi dan hukum HAM internasional.

Bagaimana Polisi Virtual di Indonesia?

Secara hukum, polisi virtual sudah resmi beroperasi setelah adanya SE Kapolri Nomor SE/2/II/2021. Menurut pakar hukum Andi W. Syahputra, upaya pihak kepolisian bukanlah suatu pelanggaran terhadap UU ITE itu sendiri maupun UU KHUP.

“Seperti yang tercantum SK Kapolri tersebut virtual police lebih merupakan aspek pencegahan dan pembinaan kepada pengguna media sosial. Artinya, polisi tidak melakukan penindakan terhadap muatan dan atau postingan yang dimuat oleh nitizen. Polisi lebih mengedepankan teguran ketimbang langsung menindak,” kata Andi kepada Barisanco.

Justru menurutnya, upaya virtual police saat ini adalah kebutuhan, jika dikaitkan dengan cara interaksi di negeri yang warganetnya terkenal paling kurang ajar sekolong jagat. Kehadiran polisi di ruang digital adalah bentuk pemeliharaan Kamtibmas agar dunia siber dapat bergerak dengan bersih, sehat, dan produktif.