Scroll untuk baca artikel
Fokus

Apakah Virtual Police Seseram yang Kita Bayangkan?

Redaksi
×

Apakah Virtual Police Seseram yang Kita Bayangkan?

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Semua orang berpeluang menyebarkan informasi bohong. Penelitian Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) 2017 menunjukkan media sosial Facebook, Twitter, Instagram, dan Path menjadi saluran hoaks terbesar yakni 92,40 persen.

Setelah itu aplikasi chatting seperti WhatsApp, Line dan Telegram berada di posisi kedua dengan 62,80 persen. Sementara, saluran penyebaran hoaks lainnya adalah situs web dan media arus utama.

Menurut survei Katadata Insight Center (KIC), hampir 60 persen masyarakat Indonesia terpapar hoaks. Bahkan selama pandemi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mengidentifikasi 1.273 hoaks terkait Covid-19.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah membuat aturan penggunaan media sosial melalui Undang–Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada 2008. Dalam perjalanannya, hoaks kemudian ikut diatur dalam UU tersebut agar dapat dipidana atau dikenakan sanksi.

Pada 24 Februari 2021, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerjemahkannya menjadi kebijakan Polisi Virtual. Polisi dunia maya ini dibuat sebagai respons arahan Presiden Joko Widodo terkait penerapan pasal-pasal pada UU ITE.

Polisi Virtual juga bertujuan untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat dan produktif. Caranya dengan memonitor, mengedukasi, memberi peringatan kepada masyarakat untuk mencegah tindakan pidana siber.

Namun penerapan Polisi Virtual ini ternyata menuai pro kontra. Di lain sisi bisa mengatasi permasalahan hoaks, tapi juga bisa membatasi hak bicara masyarakat. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bahkan membuka posko pemantaun Polisi Virtual. KontraS menilai Polisi Virtual berimplikasi pada penyusutan kebebasan hak bicara di ruang-ruang sipil.

Lantas bagaimana cara kerja Polisi Virtual, mengapa sejumlah pihak sangat khawatir?

Pertama, setelah berdikusi dengan para ahli, Polisi Virtual akan memberikan peringatan kepada akun–akun media sosial yang diduga melanggar.

Misalnya sebuah akun mengunggah tulisan atau gambar yang berpotensi melanggar pidana, maka Polisi Virtual akan menyimpan unggahan tersebut. Kemudian Polisi Virtual akan mengonsultasikannya ke tim ahli yang terdiri dari ahli pidana, ahli bahasa, dan ahli ITE.

Kedua, jika ahli mengatakan konten tersebut melanggar, maka akan diajukan ke direktur siber. Setelah disahkan, Virtual Alert akan dikirim ke akun yang bersangkutan secara resmi.

Peringatan tersebut hanya dikirim melalui pesan langsung, karena bersifat rahasia. Polisi Virtual tidak ingin pengguna media sosial lain mengetahuinya.

Ketiga, setelah diberi peringatan, polisi akan memanggil pemilik akun untuk dimintai klarifikasi. Selanjutnya pemilik akun harus menghapus konten yang bermasalah dalam kurun waktu 1 x 24 jam.

Polisi Virtual Tegur Akun WhatsApp

Polisi Virtual juga menegur akun aplikasi chatting seperti WhatsApp. Mereka menegur pemilik akun berdasarkan laporan.Seseorang bisa melakukan screenshot unggahan status dan percakapan WhatsApp yang mengandung ujaran kebencian dan hoaks. Lalu melaporkannya ke Polisi Virtual.

Berdasarkan laporan itu, Polisi Virtual akan verifikasi dan melacak akun. Kemudian, mereka menegur pemilik akun secara langsung via WhatsApp. Artinya masyarakat harus lebih berhati–hati mengunggah konten apapun, meski hanya di grup WhatsApp.

Dengan melihat alur tersebut Polisi Virtual sebenarnya bukan menyadap, melainkan hanya memantau. Mungkin jika aturan main Polisi Virtual terus konsisten dengan semangat awalnya, itu tak menyeramkan seperti yang dibayangkan kebanyakan orang: Polisi Virtual hanya memberikan edukasi, tidak langsung mencebloskannya ke dalam penjara.