Scroll untuk baca artikel
Fokus

Gara-gara Patroli Internet

Redaksi
×

Gara-gara Patroli Internet

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO Mungkin kehadiran Polisi Virtual dapat dinilai baik kalau dikaitkan dengan status warganet Indonesia yang, menurut laporan Digital Civility Index (DCI), termasuk paling barbar di kolong jagat. Warganet, dengan begitu, perlu ditertibkan demi percakapan yang sehat.

Tapi seiring kebijakan Polisi Virtual itu berjalan, ada banyak catatan minor yang penting diungkapkan.

Kasus penangkapan Arkham Mukmin, semisal, jelas membawa atmosfer ketakutan bagi kita semua untuk beropini. Warga Slawi, Jawa Tengah, itu dicokok oleh tim Polres Surakarta lantaran mengkritik rencana Gibran Rakabuming yang hendak menggelar pertandingan Piala Menpora di kotanya.

“Tau apa dia tentang sepak bola, taunya cmn dikasih jabatan saja,” begitu tulis Arkham Mukmin, lewat akun Instagram @arkham_87 miliknya. Komentar Arkham ini, kata polisi Solo, memenuhi kriteria hoaks karena tidak benar bahwa jabatan Gibran merupakan pemberian: Gibran menjabat atas proses demokrasi yang sah.

Barangkali Arkham Mukmin tahu bahwa menjadi warganegara bukanlah pilihan bebas. Artinya, tanpa harus menjadi anggota DPR atau wakil rakyat sekalipun, warga seperti dia dituntut—oleh hati nurani—untuk terlibat dalam percakapan publik demi memajukan negaranya. Termasuk lewat cara kritik.

Tidak ada yang salah dengan itu karena begitulah demokrasi bekerja. Tapi polisi virtual mengubah aturan main yang ada.

Jika kemudian ini berlanjut tanpa koreksi, maka situasi hanya akan menjerumuskan kita kepada ‘kriminalisasi pendapat’—hal yang dua dekade lampau sudah pernah dilawan habis-habisan oleh bangsa ini.

Edukasi & UU ITE

Koordinator Presidium Demokrasiana Institute Zaenal Abidin Riam cukup menyayangkan dipilihnya virtual police sebagai jalan tengah yang diambil polisi dalam upaya menertibkan etika warganet di dunia maya. Menurutnya, sebagaimana dikatakan pula oleh banyak masyarakat sipil lain, justru kehadiran polisi virtual membuat diskursus di ruang publik terhambat.

“Orang takut menyampaikan kritik di dunia maya, khawatir kritiknya dianggap ujaran kebencian. Itu buruk bagi demokrasi kita,” katanya Zaenal saat Barisanco memintainya pendapat, Minggu (21/3).

Menurut Zaenal, sebetulnya lebih tepat jika upaya penertiban demikian dikemas dalam bentuk-bentuk edukasi. Memang cara ini lebih memakan waktu, dan tak ada jalan mudah kalau bicara edukasi. Namun, hal itu tetap bisa diupayakan, dan ia meyakini bahwa edukasi akan lebih membawa dampak positif bagi masyarakat.

“Yang lebih tepat sesungguhnya adalah mengedukasi masyarakat untuk bijak bermedia sosial. Bukan berarti virtual police tidak memiliki manfaat. Akan tetapi cara (edukasi) ini jelas lebih membantu warganet untuk aware terhadap unggahannya di medsos.” Ucap Zaenal.

Namun menurut Zaenal, masalah yang lebih mendasar daripada patroli siber lebih perlu diselesaikan. Harus disebut secara jelas bahwa tidak akan ada polisi virtual jika UU ITE tidak segera direvisi.

Virtual police pada dasarnya bukan akar masalah atas semakin mudah ditemukannya kriminalisasi pendapat orang di ruang publik. Yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah serius melakukan revisi UU ITE, dan sayangnya keseriusan itu belum benar-benar terlihat.” Kata Zaenal

Menurut Zaenal, kuatnya desakan publik tentang revisi UU ITE semestinya direspons pemerintah dan DPR. Apalagi, pasal-pasal yang multitafsir dalam UU tersebut sudah jelas-jelas menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat.

Jika desakan merevisi UU ITE tersebut masih saja disikapi setengah hati, salah-salah kita hanya akan terjebak pada persoalan remeh-temeh saling lapor antarwarga. Sementara, diam-diam, persoalan besar terkait kondisi berbangsa menguap hampa dan cenderung dilupakan. []