Scroll untuk baca artikel
Blog

Omnibus Law Cipta Kerja untuk Siapa?

Redaksi
×

Omnibus Law Cipta Kerja untuk Siapa?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

Barisanco – Dalam buku yang berjudul “Conflict and The Web of Group Affiliations”, George Simmel membuat teori bahwa keberadaan seseorang, bagaimana dia berpikir dan bertingkat laku akan dipengaruhi oleh keanggotaannya dalam sebuah kelompok.

Perintis mazhab interaksionisme simbolis ini ingin mengatakan bahwa sikap, perilaku, cara berpikir, kepentingan dan keberpihakan seseorang akan ditentukan oleh keanggotaan di dalam kelompok.

Dalam konteks Omnibus Law Cipta Kerja, pengusaha tetap satu suara dalam kata “setuju” . Lalu berhadapan dengan buruh di sudut yang berbeda. Pengusaha dan buruh, atau dalam bahasa Marx, borjuis dan proletar selalu berada di dalam kutup kepentingan yang berbeda. Pengusaha ingin “untung besar” dengan mengurangi upah dan hak buruh. Sementara buruh ingin “upah layak” dengan mengurangi keuntungan pengusaha.

Antara pengusaha dan buruh berebut hasil di tempat yang sama. Yaitu di dunia industri dimana kedua kelompok ini sama-sama berada di dalamnya untuk berebut hasil produksi. Dalam konteks ini, siapa pemenangnya? Di negara modern seperti Amerika, Eropa, Australia, Jepang dan Korea Selatan, negara hadir untuk melindungi kepentingan buruh. Regulasi dibuat agar buruh mendapatkan kelayakan upah. Upah yang tidak hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari, tapi juga cukup untuk biaya pendidikan, berlibur dan memenuhi kebutuhan pengembangan diri.

Sementara di negara berkembang seperti Indonesia, borjuis hampir selalu menang. Kehadiran negara justru seringkali berpihak dan melindungi kepentingan para kapitalis. Alasannya selalu “demi untuk menggenjok pertumbuhan ekonomi”. Pertumbuhan ekonomi buat siapa? Buat si kapitalis? Tanya para buruh.

Regulasi undang-undang yang mestinya dihadirkan untuk melindungi kepentingan kaum buruh yang selalu dalam posisi lemah, justru seringkali direkayasa untuk memberi keuntungan yang sebesar-besarnya bagi para pengusaha. Ini terjadi karena pengusaha seringkali hadir, ikut serta dan intervensi dalam penyusunan regulasi dan kebijakan itu. Jadi, penindasan terhadap buruh selalu dimulai dari regulasi.

Kok bisa para kapitalis itu intervensi? Setiap kapitalis ingin memanen hasil investasinya yang ditanam saat pemilu. Jadi, ada pihak-pihak yang harus bayar hutang? Tanyakan pada mereka!

Musim pandemi covid-19 seperti sekarang ini adalah saat yang tepat untuk bayar hutang kepada korporasi, kata Margareto. Mumpung ada aturan “social and physical distancing”. Buruh gak boleh demo, karena akan menciptakan kerumunan. Awas tertular virus!

Akhir-akhir ini mulai bermunculan banyak cerita atas kehadiran para pengusaha di gedung parlemen saat penyusunan undang-undang. Salah satu cerita diungkap oleh Hamdan Zulfa, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan mantan anggota DPR. Ia pernah menyaksikan sendiri cek yang dibawa pengusaha tercecer di lantai gedung parlemen.

Beberapa waktu lalu, juga viral tulisan seorang profesor dalam obrolan dengan salah satu ketua partai terkait dengan operasi cek dan dolar di parlemen. Cerita klasik. Tapi, tetap menyedihkan! Kalau legislatif saja masuk angin, apalagi eksekutif?

Jadi, dalam konteks Omnibus Law, ada dua kelompok yang tidak saja berbeda, tapi bertabrakan kepentingan, yaitu pengusaha vs buruh. Jika ada pengusaha kok gak setuju Omnibus Law, mengacu pada teorinya George Simmel, hampir dipastikan itu kepura-puraan. Dobol! Pengusaha adalah pengusaha. Mereka hidup dalam habitat atau kelompok yang sama dalam kepentingan. gak mungkin menolak. Kata Karl Marx, monyet gak mungkin memotong dahan dimana ia duduk. Maaf, itu kata Karl Marx.