Scroll untuk baca artikel
Opini

Orang Sunda, Humoris, Santai atau Malas?

Redaksi
×

Orang Sunda, Humoris, Santai atau Malas?

Sebarkan artikel ini

SAYA menikah dengan orang Jawa tepatnya Yogyakarta (tapi ada campuran darah China) bukan tanpa pertentangan dari keluarga. Keluarga besar bilang: pamali.

Tapi dasar cinta, larangan itu saya terabas sampai punya anak tiga sekarang. Alhamdulillah langgeng.

Mitos itu sangat kuat di kalangan Sunda konservatif terutama di Priangan Timur. Menikah dengan orang Jawa tidak bakal bertahan lama kecuali suaminya Jawa dan istrinya Sunda.

Mitos itu sudah terinternalisasi di kalangan Sunda. Menurut orang tua, Jawa itu lebih tua dari Sunda. Karena itu bila menikah dengan perempuan Jawa maka siap-siap kamu dijajah dan diatur oleh istri Jawa.

Setelah dijalani, kadang mitos itu ada benarnya juga. Dalam beberapa hal kadang saya berkata, “Benar juga ya.”

Tapi bukankah tidak harus istri dari Jawa kalau cuma sekadar perempuan yang banyak ngatur dan memperlakukan laki-laki seperti babu? Perempuan dari suku lain pun sama saja.

Tapi kalau untuk urusan marah, keluarga saya mungkin yang paling rasis. Dan itu sudah seperti biasa saja. Marah pun kadang disertai stereotipe.

“Dasar Sunda, pemalas!” teriak istri kalau marah memuncak.

“Dasar Jawa, hidup ngoyo Emang harta dibawa mati!” balas saya.

Karena istri saya ada darah China kadang saya pun berteriak, “Dasar China!”

Setelah beberapa kali dibentak istri sebagai pemalas. Lama-lama kadang saya berpikir juga. Apakah benar saya dan orang Sunda itu pemalas?

Sampai sekarang saya belum bisa menjawabnya. Misalnya saja orang Sunda itu selalu memberikan nama makanan atau pakaian berbentuk akronim apakah itu bentuk kemalasan atau justru memang kreatif.

Misalnya Es Doger (es dorong gerobak), Comro (oncom di jero), Sukro (suuk di jero), misro (amis di jero), Calana (dipancal salilana), Gorejag (goreng jagung), dan maaf agak saru misalnya Cangcut (kacang jeung kanjut) Beha (bengkeut harigu) dan banyak lagi.

Peneliti dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Dr. Elvi Citraresmana, M.Hum. dalam risetnya bertajuk “Tata Nama Kuliner Sunda Sebagai Kearifan Lokal dalam Perspektif Cognitive Onomastics” menyebutkan, justru orang Sunda itu kreatif.

“Artinya saya melihat bahwa orang Sunda ini kreatif. Kreatif, unik, tapi tidak meninggalkan akarnya. Orang Sunda juga dikenal humoris, jadi nama-namanya juga tidak terlalu serius, tapi justru ini yang diingat,” katanya seperti dikutip dari laman unpad.ac.id.

Tapi kadang sebutan orang Sunda (terutama laki-lakinya) pemalas kadang ada benarnya juga. Ini sebenarnya bukan faktor etos semata tetapi juga lantaran juga dukungan alam.

Alam Parahyangan yang dingin dan makanan ada dimana saja, bisa juga membuat orang Sunda malas. Lantaran itu tidak ada cerita di zaman dulu orang Sunda itu ngumbara atau berdiaspora. Baru belakangan ini orang Sunda menyebar di dunia.

Sebelumnya orang Sunda disebut ‘kurung batokeun’ alias nggak mau jauh-jauh dari rumah. Nggak berani jauh dari daerahnya. Ini karena apapun yang dibutuhkan selalu ada dekat rumah. Mau ikan ada di kolam, mau lalap ada di kebun atau pematang sawah, mau telor atau ayam ada di belakang rumah. Semuanya ada.

Lantaran itu pula kenapa sebabnya Keluarga Berencana (KB) gagal di Jawa Barat. Lihat penduduknya sampai saat ini terbanyak di Indonesia mencapai 48,64 juta jiwa.

Alasannya mungkin karena perempuan Sunda subur lantaran banyak makan lalap dan banyak makan daging protein tinggi seperti ikan dan juga daging ayam dan telor ayam kampung. Plus, suaminya banyak tinggal di rumah.

Ada tambahan, laki-laki Sunda itu humoris. Lihat saja pelawak dan pemain musik banyak lahir dari daerah Sunda. Pun, pejabat Sunda, bisa dilihat hampir semuanya doyan bercanda dan sulit mereka untuk serius.