Scroll untuk baca artikel
Blog

Otista, Bukan Sekadar Jalan

Redaksi
×

Otista, Bukan Sekadar Jalan

Sebarkan artikel ini

DI Jakarta, Kota Bogor dan Bandung ada Jalan Otista. Mungkin bagi sebagian kalangan menganggapnya biasa saja.

Otista adalah akronim dari seorang Pahlawan Nasional asal Jawa Barat, Oto Iskandar Dinata.

Oto Iskandar terpilih menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) pada 15 Juni 1931. Selaku anggota Volksraad ia terkenal dengan keberaniannya dalam membongkar kepincangan-kepincangan dan borok pemerintah kolonial sekaligus membela kepentingan rakyat yang ditindas pemerintah atau pengusaha swasta asing.

Karena keberaniannya itu teman-temannya menjuluki Oto Iskandar sebagai Si Jalak Harupat. Jalak Harupat adalah ayam jago yang kuat, tajam kalau menghantam lawan, kencang bila berkokok, dan selalu menang bila diadu.

Komitmen kebangsaan dan kontribusi Oto Iskandar dalam perjuangan kemerdekaan tak diragukan lagi. Basis organisasi yang kuat di Pagoejoeban Pasoendan (1929-1942), kelak mengantarkan Oto Iskandar tampil cemerlang di tingkat pusat ketika menjadi anggota Dewan Rakyat di Batavia, inisiator di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), hingga menjadi Menteri Negara yang mengurus keamanan.

Banyak kiprah dan kerja nyata yang digagas atau dikembangkan Oto Iskandar selama menjabat Ketua Umum Pagoejoeban Pasoendan. Bidang yang sangat maju pesat di antaranya dalam pendidikan.

Hingga tahun 1933 sudah 29 buah sekolah didirikan di pelosok Jawa Barat. Menyusul kemudian berdiri Centrale Bank Pasoendan dan sejumlah koperasi. Untuk menaungi semua unit usaha itu kemudian berdiri perusahaan induk yang dinamai Bale Ekonomi Pasoendan.

Dalam bidang sosial dan kemasyarakatan, Pagoejoeban Pasoendan juga mendirikan lembaga bantuan hukum yang dikenal dengan Adviesbureaul. Lembaga ini memberikan bantuan cuma-cuma kepada masyarakat. Dasarnya, saat itu rakyat jelata kerap menjadi sapi perahan atau menjadi ladang penipuan para cerdik pandai yang berdalih di atas legalitas hukum.

Tidak hanya itu, Oto Iskandar juga mendirikan Reclasseering Vereeniging (Perhimpunan Pemasyarakatan Kembali). Lembaga ini mengurus dan memperbaiki nasib orang-orang yang baru dibebaskan dari bui, termasuk mencarikan pekerjaan yang tepat buat mereka.

Uniknya, Oto Iskandar mengawali karier perjuangan oraganisasinya bukan di Tanah Sunda melainkan di Purworejo, Jawa Tengah.

Seperti dinukil dari buku “Si Jalak Harupat: Biografi R. Oto Iskandar di Nata ( 1897-1945)”, Oto Iskandar memulai karier organisasinya dengan aktif sebagai anggota Boedi Oetomo sejak masih sekolah di Hoogere Kweekschool.

Oto Iskandar keluar dari Boedi Oetomo dan lebih memilih pindah ke Pagoejoeban Pasoendan Cabang Batavia (Juli 1928). Saat itu Oto Iskandar yang menjadi Guru di Hollandsch Inland School (HIS) Pekalongan dipaksa pindah oleh pemerinah kolonial ke Batavia.

Oto Iskandar yang saat itu sudah menikah dengan seorang ningrat Jawa, R.A Soekirah, dinilai berbahaya karena keberaniannya menentang pemerintahan feodal di Pekalongan.

Sikap keras Oto Iskandar tercermin ketika mewanti-wanti istrinya jangan sampai gengsor, jalan sambil duduk, saat menghadap Bupati Pekalongan.

Selama masa kepemimpinan Oto Iskandar, Pagoejoeban Pasoendan juga menerbitkan surat kabar Sipatahoenan. Surat kabar ini kelak menjadi alat perjuangan Oto Iskandar.

Surat kabar ini mulanya milik cabang Tasikmalaya (1923) dan terbit mingguan. Baru pada 1931 surat kabar ini diambil alih Pagoejoeban Pasoendan pusat dan terbit harian.

Karena sering mengkritik pemerintah kolonial, surat kabar ini beberapa kali terjerat Persbreidel Ordonanntie.