Sulit sekali membayangkan negara tanpa makam pahlawan. Pada kenyataannya, adalah benar bahwa darah dan keringat pahlawanlah yang melandasi berdirinya Indonesia. Dan makam mereka merupakan simpul sejarah yang kelewat penting kalau diabaikan.
Secara menarik, banyak pahlawan kita dimakamkan jauh dari kampung halamannya masing-masing. Pangeran Diponegoro, semisal, berperang di Jawa tapi makamnya di Sulawesi. Cut Nyak Dien berjuang di Aceh, tertangkap, dan dua tahun setelahnya meninggal di pengasingan di Sumedang. Mereka berdua hanya beberapa untuk disebutkan.
Selebihnya, tampak bahwa ada semacam pola pemerintah kolonial membuang para ‘pemberontak’ sejauh mungkin dari masyarakat dan tanah perjuangannya.
Di Eropa, tradisi pengasingan (exile and banishment) memang sudah ada sejak zaman Yunani. Pada abad-abad kolonialisme praktik itu gencar dijalankan. Kerajaan Inggris tentu saja menjadi yang paling epik, dengan membuang para kriminalnya ke sebuah pulau sejauh 25.427 km dari daratan Britania, hingga pulau itu sesak, dan belakangan menamai pulau itu sebagai Australia.
Daya Hidup di Tanah Pengasingan
Dari sudut pandang otoritas, pada umumnya pengasingan bertujuan untuk meredam perlawanan dengan menyunat psikologis pemimpin perlawanan dan emosi basis massanya. Pemerintah Hindia-Belanda juga melakukan itu. Namun tampaknya, mereka tidak memperhitungkan bahwa pengasingan tokoh perlawanan menjadi awal imajinasi tentang Indonesia.
Benar bahwa para pahlawan kita menjadi jauh dari tanah perjuangannya. Tapi, justru para pahlawan dapat diterima kehadirannya oleh masyarakat di tempat pengasingan. Bahkan ajaran mereka juga diterima dengan baik.
Di pengasingannya di Sukabumi, Cut Nyak Dien tidak lagi memegang rencong. Ia mengajarkan al-Quran dan bahasa Arab kepada penduduk. Orang-orang lebih memahaminya sebagai pendakwah daripada panglima perang. Dan di sana, Cut Nyak Dien dipanggil sebagai Ibu Prabu atau Ibu Suci.
Diponegoro, meskipun statusnya adalah orang buangan, pun diterima oleh masyarakat. Para pengikutnya dibebaskan bergaul dengan penduduk lokal Makassar di sekitar lokasi pengasingan. Setelah ia wafat, istri, anak, dan keluarganya melanjutkan hidup di sana dan melakukan pernikahan dengan penduduk lokal sampai turun-temurun. Di Manado, pengawal-pengawal Imam Bonjol menikah dengan gadis Minahasa dan memeluk Islam dan mempunyai keturunan hingga sekarang.
Interaksi-interaksi semacam ini terus berulang bahkan sampai ke generasi pejuang berikutnya. Termasuk Soekarno, Presiden pertama Indonesia, yang menikah dengan Fatmawati selepas ia dibuang ke Bengkulu. Dari mereka lahirlah putri yang kelak juga menjadi presiden Indonesia: Diah Permata Megawati Setiawati Sukarnoputri.