Keberhasilan Swedia menurunkan emisi gas rumah kaca melalui pajak karbon justru menuai kritik. Nyatanya, bahan konstruksi yang dikecualikan terkena pajak karbon justru menjadi pencemar utama
BARISAN.CO – Di tahun 1979, ekonom Milton Friedman mengatakan, cara terbaik untuk menangani polusi ialah dengan mengenakan pajak atas biaya polutan yang dikeluarkan oleh mobil dan memberikan insentif kepada produsen mobil serta konsumen untuk menekan jumlah polusi.
Para ilmuwan percaya, emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan oleh manusia saat ini menjadi penyebab utama pemanasan global. Maka dari itu, hadirnya pajak karbon agar dapat mengurangi emisi karbon dioksida, memperlambat perubahan iklim, serta meningkatkan kesehatan planet dan mahkluk hidup.
Finlandia menjadi negara pertama di dunia yang memberlakukan pajak CO2 sejak tahun 1990. Saat itu, tarif yang diberlakukan sebesar EUR1,12 per ton CO2 berdasarkan kandungan karbon pada bahan bakar fosil. Namun, tarif itu mengalami peningkatan dan digabung dengan pajak energi.
Berdasarkan data Tax Foundation, sejak 1 April 2021, tarif pajak karbon yang berlaku di Finlandia senilai EUR62. Namun, meski selisih satu tahun memberlakukannya, Swedia justru menjadi negara dengan pajak karbon termahal di dunia, yakni sebesar EUR166,33.
Sejak pajak karbon diimplementasikan, emisi karbon Swedia menurun dan pertumbuhan ekonomi stabil. Pajak karbon adalah salah satu dari beberapa pungutan lingkungan di Swedia. Pungutan lainnya meliputi pajak energi, pajak penerbangan, dan pajak kendaraan.
Bensin telah dikenakan pajak sejak 1924, solar mulai 1924, dan batu bara, minyak, serta listrik untuk keperluan pemanas telah dipajaki mulai tahun 1950-an. Retribusi atas semua produk energi tersebut di Swedia disebut dengan energiskarr atau pajak energi. Ketika diterapkan, pajak ini tidak dianggap sebagai ukuran lingkungan melainkan murni untuk meningkatkan penerimaan pajak.
Antara tahun 1990 hingga 2018, Swedia berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 27 persen. Menurut badan perlindungan lingkungan Swedia, pengurangan emisi terbesar berasal dari pemanas rumah dan fasilitas industri. Pajak karbon ini juga mendorong produksi listrik bebas CO2 sebagai upaya mengurangi emisi.
Langkah pemerintah Swedia tersebut bukan tanpa kritik. Di tahun 2019, kelompok ahli dari Stockholm School of Economics menilai, meski perusahaan di Swedia antara tahun 1900-2008 telah mengurangi emisi, produsen bahan konstruksi yang masuk dalam pengecualian pajak karbon justru merupakan pencemar utama yang tidak mengurangi emisi, bahkan berpotensi meningkatkannya.
Seorang profesor Per Stromberg dan rekan penulis laporan tersebut menyebut, salah satu alasan utama kegagalan itu ialah banyak pencemar besar diberi keringanan beban pajak, seperti industri baja karena dianggap akan bangkrut apabila harus membayar pajak atas jumlah total emisi.
Tahun 2014, Jacob Lundberg berpendapat, tarif pajak karbon di negara itu terlalu tinggi. Dia juga menilai, efektifitas pajak karbon Swedia dirusak oleh industri yang masuk dalam pengeculiaan seperti yang dikatakan oleh Per Stromberg.
Indonesia pun akan segera menyusul menyusul. Pemerintah berencana menerapkan pajak karbon untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mulai 1 Juli 2022 dengan nilai Rp30/kg karbon dioksida ekuivitas.
Melansir Boston Review, para ekonom, harga karbon efektif harus cukup tinggi untuk membuat pencemar membayar eksternalitas yang dihasilkan. Menurut Bank Dunia, negara perlu mematok antara US$40 hingga US$80 per ton untuk memenuhi target dari Perjanjian Paris. Sedangkan, ilmuwan iklim dari Universitas California San Diego memperkirakan, biaya atas kerusakan yang diakibatkan oleh polusi karbon semestinya dikenakan U$S417 per ton.
Meski, Swedia menjadi negara dengan pajak karbon tertinggi dunia, sayangnya itu masih dikategorikan rendah. Sedangkan, Indonesia bisa dikatakan jauh lebih rendah lagi, baik yang disarankan oleh Bank Dunia apalagi saran ilmuwan iklim tersebut.
Dari studi lain, Fraser Institute menemukan, pajak karbon global tidak efektif karena tujuan utamanya kebanyakan bukan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca melainkan mendompleng pendapatan pemerintah. Hasil itu ditemukan dari negara kaya yang tergabung dalam anggota OECD.
Dengan sumber data dari penerapan pajak yang terjadi di dunia bisa jadi Indonesia juga akan mengalaminya. Terlebih dipatok dengan biaya yang amat murah dan kemungkinan akan dilihat sebagai pendapatan negara juga bisa saja terjadi.
Namun demikian, kita harus melihat beberapa tahun ke depan setelah aturan ini nantinya diberlakukan agar lebih mengetahun efektivitasnya.