Scroll untuk baca artikel
Blog

Pandemi, Kritik Pendidikan, dan Jalan Perubahan

Redaksi
×

Pandemi, Kritik Pendidikan, dan Jalan Perubahan

Sebarkan artikel ini
Oleh: Adib Achmadi

Harapan banyak pihak bahwa pandemi akan segera berakhir dan pendidikan bisa berlangsung normal semakin jauh dari harapan. Situasi pandemi makin memburuk dan mengkawatirkan. Penyebaran Covid-19 dengan berbagai varian makin meluas dan makin tak terkendali. Korban akibat pandemi terus meningkat, bukan hanya mereka yang terpapar, tapi juga yang tak terselamatkan jiwanya. Semua pihak dituntut waspada.

Di sisi lain, apapun kondisinya dinamika pendidikan tak boleh berhenti berdetak. Pendidikan harus terus berjalan dan dituntut bisa mengatasi keadaan. Apapun masalahnya hari ini, seberat apapun beban yang harus dihadapi, bangsa ini tidak boleh kehilangan masa depan. Dan jawaban atas masa depan, salah satunya melalui pendidikan.

Keberhasilan pendidikan hari ini akan berarti kualitas SDM masa depan bangsa. Itu alasan utama mengapa pendidikan hari ini harus bertahan dengan mutu diharapkan terjaga. Pandemi harus disikapi sebagai situasi yang tak terelakkan dan harus menemukan langkah kreatif untuk mengatasinya. Bahkan bila perlu pandemi menjadi momentum untuk melakukan perubahan pendidikan.

Salah satu cara pandang kritis terhadap pandemi adalah memahami wabah ini sebagai bentuk kritik atas pelaksanaan pendidikan selama ini. Berbagai kemacetan luar biasa dalam proses pendidikan bisa ditelusuri bagaimana tata kelola sebelum era pandemi berlangsung. Dasar pemikirannya, andai pendidikan dilaksanakan secara benar, keterpurukan pendidikan tidak separah yang dirasakan saat ini.

Sebelum pandemi, hampir seluruh indikator eksternal pendidikan kita sudah terpuruk. Salah satu di antaranya hasil survei PISA (Programme for Internasional Student Assessment) yang diselenggarakan negara-negara yang tergabung dalam organisasi kerjasama ekonomi (OECD), menunjukkan kinerja buruk dunia pendidikan kita. Selama 20 terakhir capaian pendidikan selalu di bawah rata-rata dunia untuk kemampuan membaca (literasi), sains, dan matematika.

Potret pendidikan vokasi juga belum memberikan hasil yang menggembirakan. Ketika jumlah sekolah vokasi didorong dari sisi kuantitas dengan harapan serapan kerja meningkat. Begitu jumlah sekolah vokasi bertambah, keberadaan lulusan vokasi justru memberi kontribusi pengangguran lebih banyak dari sekolah umum.

Pun prestasi perguruan tinggi Indonesia juga tertinggal. Perguruan tinggi di Indonesia kalah jauh dengan negara tetangga semisal Malaysia.

Keadaan ini menggambarkan ada yang salah dari tata kelola pendidikan kita selama ini. Jika sebelum pandemi saja kinerja pendidikan kita terpuruk maka apalah lagi pada masa pandemi. Hari ini semua pihak, tidak hanya sekolah, menanggung beban berat pendidikan.

Tentu ada banyak faktor mengapa pendidikan kita demikian terpuruk begitu dalam. Setidaknya ada empat faktor penting untuk dicatat dalam tulisan ini, pertama: kepercayaan yang terlalu besar pada institusi pendidikan.

Selama ini banyak pihak, baik itu keluarga, masyarakat, maupun pemerintah menyerahkan kepercayaan penuh pendidikan pada institusi pendidikan. Begitu lama kepercayaan itu diberikan sehingga sekolah sebagai institusi pendidikan menjadi tumpuan utama berlangsungnya pendidikan.

Sebaliknya, tradisi mendidik dan kepedulian terhadap pendidikan menjadi kian pupus di luar institusi pendidikan. Begitu terjadi pandemi di mana hubungan sekolah dan peserta didik tidak berjalan normal, dinamika pendidikan menjadi guncang. Semua pihak tak siap menanggung beban pendidikan. Telanjur pupus tradisi mendidik di keluarga, lingkungan masyarakat, maupun di pemerintahan, sehingga mereka tak tahu harus berbuat apa pada situasi saat ini.