Scroll untuk baca artikel
Blog

Pandemi, Kritik Pendidikan, dan Jalan Perubahan

Redaksi
×

Pandemi, Kritik Pendidikan, dan Jalan Perubahan

Sebarkan artikel ini

Tentu ada banyak faktor mengapa pendidikan kita demikian terpuruk begitu dalam. Setidaknya ada empat faktor penting untuk dicatat dalam tulisan ini, pertama: kepercayaan yang terlalu besar pada institusi pendidikan.

Selama ini banyak pihak, baik itu keluarga, masyarakat, maupun pemerintah menyerahkan kepercayaan penuh pendidikan pada institusi pendidikan. Begitu lama kepercayaan itu diberikan sehingga sekolah sebagai institusi pendidikan menjadi tumpuan utama berlangsungnya pendidikan.

Sebaliknya, tradisi mendidik dan kepedulian terhadap pendidikan menjadi kian pupus di luar institusi pendidikan. Begitu terjadi pandemi di mana hubungan sekolah dan peserta didik tidak berjalan normal, dinamika pendidikan menjadi guncang. Semua pihak tak siap menanggung beban pendidikan. Telanjur pupus tradisi mendidik di keluarga, lingkungan masyarakat, maupun di pemerintahan, sehingga mereka tak tahu harus berbuat apa pada situasi saat ini.

Kedua, tradisi pendidikan di sekolah cenderung menempatkan guru pada posisi sentral (teacher oriented). Kultur pendidikan ini menciptakan ketergantungan besar peserta didik pada guru. Begitu besar ketergantungan peserta didik pada guru dan sekolah, ketika hubungan itu terputus, masalah besar terjadi.

Siswa tak siap dan tidak terlatih untuk mandiri belajar. Pada kondisi ini, kemacetan pendidikan terjadi: peserta didik kehilangan kemandirian dan inisiatif belajar, sementara di rumah dan masyarakat sudah banyak kehilangan tradisi mendidik.

Ketiga, dunia pendidikan kita gagal membangun tradisi pembelajar di sekolah. Peserta didik tiap hari belajar di sekolah tidak membuatnya menjadi pembelajar. Belajar menjadi kegiatan formal dan rutin tapi tidak menumbuhkan elan pembelajar. Dan ketika elan pembelajar tidak tumbuh, hasrat dan motivasi belajar menjadi tidak berkembang.

Kondisi ini yang akhirnya bisa dipahami mengapa literasi jagat pendidikan kita buruk. Bukan soal fasilitas bacaan (baik manual maupun digital), tapi soal mental pembelajar yang tidak tumbuh. Betapapun lengkapnya perpustakaan dan canggihnya media digital, bagi peserta didik yang tidak memiliki elan pembelajar, keberadaan sarana literasi itu menjadi tidak berfungsi optimal, bahkan cenderung disalahgunakan.

Keempat: iklim kreativitas pendidikan kita relatif kering.

Tradisi pembelajaran dan kehidupan sekolah cenderung jatuh pada formalisme dan rutinitas. Selain itu proses pembelajaran juga monoton dari waktu ke waktu serta tak merangsang kreativitas baik guru maupun peserta didik. Sekolah tidak menjadi taman, sebagaimana yang digagas Ki Hajar Dewantoro. Yakni tempat yang indah dan menyenangkan serta menjadi wahana seseorang mengembangkan kreativitas tak terbatas. Sekolah menjadi tempat yang mengekang dan membosankan.