Oleh: Khoirul Fahmi
(Penggiat Literasi, berdomisili di Jakarta)
Berita seputar kemungkinan PKS bergabung ke Koalisi Indonesia Maju belum aku tanggapi terlalu serius. Biasa lah gimick politik. Tapi rasa kecewa begitu menusuk setelah keluar pernyataan resmi dari petinggi PKS bahwa PKS ikut mengusung Ridwan Kamil sebagai Cagub Jakarta.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa Kota Jakarta walawpun bukan lagi Ibu Kota NKRI, tapi tetap jadi barometer politik nasional. Kalau partai daun sente berkoalisi dengan partai daun pisang serta daun singkong di daerah lain itu hal biasa. Tapi kalau itu terjadi di Jakarta, itu berbeda magnet politiknya. Masalahnya juga di Jakarta ini Jokowi dan kawan-kawan masih berusaha keras menghalau Anies Baswedan agar tenggelam, dan tidak bisa maju lagi di pilpres 2029.
Segala upaya dilakukan oleh Jokowi. Terhadap partai yang menjadi sarang koruptor, ia menyandera kadernya. Kalau tetap mengusung Anies Baswedan kasus korupsi kadernya akan dinaikkan. Terhadap partai yang “bersih” Jokowi melalui Prabowo menawarkan jatah kursi mentri, asalkan tidak mengusung Anies Baswedan.
Konon, PKS tergiur terhadap tawaran itu, selain tawaran-tawaran lainnya, termasuk posisi cawagub Jakarta. Jadilah barang itu yang bernama RAWON. Paket ini resmi diluncurkan tanggal 19 Agustus 2024.
Aku kecewa kepada PKS. Tapi tidak kepada dua partai pengusung Anies Baswedan di pilpres 2024 yang lalu, yaitu PKB dan Nasdem. Sebabnya aku bukan pemilih dan simpatisan kedua partai itu. Aku juga tidak gencar mengkampanyakan dua partai itu ke khalayak. Dan yang jelas aku tidak pernah menaruh harapan apa pun terhadap dua partai itu. Rekam jejaknya tidak terlalu bagus dalam memoriku.
Akan halnya PKS. Kiprahnya selama 10 tahun menjadi oposisi Jokowi adalah satu kredit poin bagiku. Partai ini partai yang membela dan memperjuangkan aspirasi umat Islam dan rakyat kecil. Ada juga sih teman yang nyinyir dengan sikap politikku ini. Tapi tak aku perdulikan.
Aku tidak perlu menceritakan kekecewaan terhadap partai lain, karena sedari awal aku sudah kecewa. Aku menilai partai lain yang banyak itu “gak bener”. Mereka telah mengkhianati amanat revolusi ’45 dan reformasi 1998. Ukurannya sederhana : pertama, hampir semua partai kadernya korupsi. Kedua, hampir semua partai, melakukan money politics saat pemilu. Ketiga, hampir semua partai politik diam dan menyetujui undang-undang yang merugikan rakyat.
Tidak ada partai yang membela kepentingan rakyat. Yang mereka kejar hanya kekayaan dan kekuasaan. Semua partai kena jebakan korupsi yang diumpankan oleh Jokowi. Akhirnya hampir semua tersandera kasus korupsi. Mereka tidak bisa berkutik saat didikte oleh Jokowi untuk memenuhi nafsu berkuasanya.
Kalau melawan, kasusnya diangkat, dan diproses. Karena tersanderanya sampai partai sebesar dan setua Golkar harus bertekuk lutut di hadapan Jokowi. Saat Airlangga diminta mundur, dengan mudahnya ia mundur. Sebab kalau tidak, kasus-kasus hukumnya akan dibuka. Tragedi demokrasi yang sangat memalukan.
Yang tidak kalah memalukan ditunjukkan dua partai yg tidak tersandera kasus korupsi, tapi tersandera sahwat kekuasaan, yaitu Partai Bulan Bintang (PBB). Ketua PBB saat itu menyadari kalau dengan cara normal, ia tidak bisa menikmati kue kekuasaan. Makanya Partainya dua kali dibawanya mendukung Jokowi. YIB sendiri dua kali menjadi Ketua Tim Hukum Jokowi. Tragedi yang memalukan. Seorang guru besar hukum tata negara harus berlutut di hadapan Jokowi yang ijazah sarjananya dipertanyakan demi kekuasaan dan uang.
Terakhir, tragedi PKS. Sama dengan PBB, Partai ini juga sebenarnya tidak tersandera kasus korupsi. Tapi karena iming-iming jatah kursi, Partai ini meninggalkan pemilihnya. PKS sebenarnya bukan meninggalkan Anies Baswedan, karena pemilih PKS yang non partisan memilih PKS karena janji perubahan.