Scroll untuk baca artikel
Blog

Patung Tak Bernama – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Patung Tak Bernama – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

MENGAPA engkau lebih suka menungguku di bawah patung yang tidak aku suka, Mona. Patung seorang pelukis tapi ditampilkan serupa gali kampung, mencengkeram keris di pinggang bagai menantang. Apakah itu bahasa pasemonmu, mau menantangku untuk hidup seribu tahun. Aku akui, aku memang pernah disebut Emha sebagai seniman preman yang tidak takut mati. Lalu kau menentangnya: berani mati mudah, berani hidup yang susah!

Sudahlah, Mona, akui saja bahwa kita sama tidak berani untuk hidup bersama. Kau tak bisa yakin, bahwa aku bisa menjadi nakhoda bagi pelayaran kita. Sedangkan kau terlalu kuat sebagai kerani, dan itu membuat aku takut setengah mati.

Jadi, bagaimana, kita jalani saja pertemanan kita. Untuk suatu saat dengan terpaksa kita menikah. “Terpaksa?” tanyamu tak mudeng, kawin hansip misalnya, jawabku, dan kau tertawa. Bilangmu, ceplas-ceplosku itulah yang kau suka.

Bagaimana jadinya kalau kita kawin, tanya Rendra dalam larik puisinya, kau melahirkan anak-anakku. Kenapa tidak, Eko Tunas saja berani kawin, hidup sebagai penulis. Punya lima anak. Ada yang kembar dampit, lagi. Itulah sifatku yang kau tak suka, suka membandingkan dengan orang lain.

“Mengapa tidak berani berdiri di kaki sendiri?”

Lho, aku sudah berdiri, dan kamu masih duduk di buhul itu.

“Mbuh..!”

Hidup yang penting dilakoni, susah dan senang sama saja, kataku. Dan selalu kau menyergah, “kita orangnya sudah tahan, tapi aku tidak mau mengajak anak-anak kita hidup menderita.”

Lalu seperti biasa kau bertanya tentang gunung dan lembah di antaranya. Mengapa kanak-kanak mesti menggambar gunung kembar, sawah dan rel serta tiang listrik berjajar. Mengapa pula mesti ada gubuk di tengah sawah. Bahkan kalau ada paku menancap di tiang gubuk, pakunya pun bengkok.

“Aku tidak mau anak-anak kita dididik hidup susah,” ujarmu.

Menggambar ya mesti dengan obyek kota metropolis. Gedung-gedung mencakar langit, yang di malam hari bagai jajaran ribuan bulan segi empat, bersama jutaan bintang di langit.

Alasanmu, “bukankah kamu ingin kita hidup di desa, kecuali kita hidup di kota dunia, anak-anak kita mesti belajar menggambar petani dan kerbau bajak di sawah.” Anak-anak kita mesti merdeka, seperti lukisan Basquiat.

“Seperti calon bapaknya,” sanggahmu, “menyalah-artikan kemerdekaan sebagai kebebasan tiada batas!”

* * *

APA yang bisa diharapkan dari seniman instalasi, memang, kecuali Christo membungkus bukit-bukit atau coast line. Seperti katamu, saat aku dengan bantuan para pendaki gunung memasang boneka kecil di puncak gundul planetarium Taman Ismail Marzuki. Terang saja, di era orde baru itu jadi isu politik besar.

Sang despot jendral besar mengerahkan Intel untuk memburuku, sementara aku dan kamu asyik ngopi di kafe Nelayan. Atau saat aku menumpuk batang-batang ketela pohon, dan aku asyik saja saat hujan turun, instalasi itu jadi trubus. Apa yang aku dapat selain keasyikan dan kepuasan.

Kemudian kegilaan ideku untuk aksi unjuk rasa di era reformasi. Demo terhadap KPU, tapi aku menyarankan digelar di pusat kota, di Thamrin. Alasanku jelas, jalan di pusat kota itu spacenya lebih luas, akan lebih teateral kalau terjadi chaos. Ditambah gedung-gedung kaca yang mengitari, sebagai setting itu tidak sekadar dekorasi tapi sangat instalatif.

Lihatlah, kita akan menyaksikan dari lantai lima hotel bintang lima, sambil berdiskusi tentang seni Avant Garde. Televisi kita biarkan meracau, serupa kutukanmu tentang: verveilen de crik-krak..!

Krik-krak adalah penamaan kucing dalam bahasa Belanda. Untuk menyebut makhluk yang bisa beranak banyak, meski lebih banyak kelinci seperti lagu Gang Kelinci Titik Puspa. Sebagaimana negara dengan banyak partai.