Scroll untuk baca artikel
Blog

Peluang ‘Nobel Perdamaian’ dan ‘Sekjen PBB’ Lepas dari Tangan Jokowi

Redaksi
×

Peluang ‘Nobel Perdamaian’ dan ‘Sekjen PBB’ Lepas dari Tangan Jokowi

Sebarkan artikel ini

UPAYA Presiden Jokowi di sisa masa akhir jabatan periode kedua untuk menorehkan sejarah level dunia sepertinya bakal buyar. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, Selasa (15/11/2022) hingga Rabu (16/11/2022), diperkirakan berlangsung hambar, seremonial dan reunian seperti acara sebelumnya di Italia.

Padahal, G20 di Bali awalnya banyak diharapkan tidak sekadar pertemuan ‘arisan’ rutin tetapi juga dapat memberikan solusi cepat, darurat dan extra ordinary untuk menyelesaikan masalah dunia akibat perang Rusia dan Ukraina.

Krisis global dalam bidang pangan dan energi dampaknya sangat dirasakan sejumlah negara, Uni Eropa, Afrika, Amerika Latin dan Asia. Karena pasokan gandum dari Pelabuhan Odesa di Laut Hitam yang menjadi otoritas Ukraina kini dikuasai Rusia.

Ukraina adalah salah satu negara terbesar pengekspor gandum dunia. Menurut Badan Pangan Dunia (FAO) setiap tahun Ukraina mengekspor 45 juta ton gandum.

Begitu juga pasokan gas ke Eropa juga dibatasi Rusia. Padahal negara-negara Uni Eropa terutama Jerman sangat tergantung pada gas alam dari Rusia. Mereka juga dipaksa untuk membayar gas dengan mata uang Rubel sebagai balasan atas sanksi Uni Eropa dan Amerika kepada Rusia karena menyerang Ukraina.

Ada yang mengkhawatirkan Eropa bakal membeku dan warganya mati kedinginan pada musim dingin tahun ini. Masyarakat yang diperkotaan paling merasakan dampak langsung karena mereka sangat tergantung pada pemanas ruangan sementara gas tersendat. Sedangkan warga yang diperdesaan masih bisa menyiasatinya dengan kayu bakar dari hutan.

Perang Rusia dan Ukraina juga berdampak pada aksi iklim Uni Eropa. Padahal Jerman dan Prancis misalnya mereka akan mengakhiri operasional pembangkit listrik reaktor nuklir dan batu baranya tahun ini. Namun semuanya batal.

Mereka terpaksa mengambil kebijakan pahit demi menyelematkan warga dan ekonominya karena gas dari Rusia bisa saja suatu waktu dimatikan secara total.

Tungku batu bara yang menyumbang polusi kembali diaktifkan untuk menggerakkan turbin listrik. Begitu juga dengan reaktor nuklir di tengah kekhawatiran korosi dan juga kerusakan lainnya. Artinya kebocoran reaktor menjadi kekhawatiran publik di tengah kepanikan pemerintahnya lantaran darurat energi.

Strategisnya G20

Menyaksikan kondisi dunia yang tidak sedang baik-baik saja, KTT G20 di Bali menjadi sangat strategis. Artinya lobi Pemerintah dengan meminta kemurahan India untuk merelakan Indonesia jadi tuan rumah duluan adalah langkah yang sangat cerdik.

Tapi sayang eksekusi di akhir sepertinya tidak sesuai rencana. Padahal dalam kondisi dunia yang tengah demam tinggi, pertemuan G20 bisa menjadi sangat penting untuk menyelesaikan problem akut dunia terutama soal isu perang, pangan dan energi.

Namun, sekali lagi ketidakhadiran Putin yang menjadi aktor utama dalam perang yang diikuti gonjang-ganjing ikutan seperti krisis ekonomi dikhawatirkan tidak akan menghasilkan keputusan yang menjadi penawar. Padahal, bila Presiden Jokowi dapat menyodorkan Proposal Mengakhiri Perang Rusia-Ukraina dan disepakati para pihak itu bisa menjadi sejarah besar. Bukan sejarah untuk Indonesia tetapi juga bagi dunia.

Putin sudah definitif tidak hadir. Ini juga menjadi sinyal perang Rusia-Ukraina tidak ada tanda-tanda segera berakhir. Walupun alasan Putin sangat sopan: tidak mau merepotkan pemerintah Indonesia.

Sebenarnya, Presiden Jokowi tak masalah direpotkan karena kedatangan Putin akan menjadi prestasi tersendiri buat Jokowi. Apalagi kalau Putin menyatakan langsung di Bali: perang akan saya akhiri.

Tapi itu tidak terjadi. Presiden Jokowi pun gagal memanfaatkan peluang mendapat Nobel Perdamaian dan Sekjen PBB. [rif]