Narasi lingkungan dan ekonomi adalah dikotomi, itu narasi palsu.
BARISAN.CO – Pembangunan ekonomi sering kali diutamakan ketimbang kelestarian lingkungan karena melibatkan standar hidup masyarakat. Namun, kualitas hidup dapat menurun apabila masyarakat tinggal dengan kualitas ekonomi yang buruk karena pembangunan ekonomi.
Bagi negara-negara berkembang, pembangunan ekonomi kemudian menjadi prioritas yang lebih tinggi daripada perlindungan lingkungan dan konservasi sumber daya alam (SDA). Pertumbuhan penduduk yang cepat, pendapatan per kapita, dan penggunaan bahan bakar fosil selama setengah abad terakhir telah menyebabkan ancaman besar bagi stabilitas iklim dan ekosistem, baik di negara maju maupun negara berkembang.
Agus Sari, CEO Landscape Indonesia mengatakan, pasca pandemi usai misalnya, bukan berarti semua masalah selesai. Hal itu Agus sampaikan dalam webinar Indonesia’s Green Economy: How To Build A Climate Change Resilient Society.
Ternyata kita sedang diancam oleh perubahan iklim yang luar biasa besar. Resesi dunia makin dalam dan krisis iklim ternyata sudah kita lihat buktinya di seluruh dunia,” katanya, Rabu (1/3/2023).
Dia menambahkan, narasi yang terus-menerus muncul hingga saat ini adalah kalau pilih pembangunan, lingkungan dan sosial harus dikorbankan atau kalau mau milih memproteksi lingkungan, maka kita harus membayar mahal.
“Kalau kita milih trajectory tanpa melihat lingkungan sebagai bagian dari aset yang nantinya akan dimanfaatkan oleh pembangunan atau pembentukan kesejahteraan kita, maka itu akan nge-kick balik tiba-tiba diberikan ongkos yang tadinya kita tidak diperkirakan harus kita bayar,” tambah Agus.
Dia mengambil contoh Pakistan yang luluh lantak akibat banjir.
“Kaltim beberapa kali banjir besar, yang tiga minggu ga surut-surut. Semarang dan sebagian besar Pantai Utara Jawa Tengah itu bolak-balik dihancurkan oleh banjir rob,” lanjutnya.
Menurutnya, banyak sekali sekarang ini wilayah pertanian di Indonesia yang kekeringan dan tidak bisa ditanam lagi, bukan hanya kualitas lahannya, tapi gabungan antara banjir dan kekeringan, yang akhirnya mengganggu produktivitas pertanian.
“Ini semua menyerang dalam waktu bersamaan dan kita masih saja berpikir, ‘ayo kita bangun infrastruktur besar-besaran, PLTU banyak-banyak, jual mobil sebanyak-banyaknya agar semua orang bisa naik mobil. Kita masih berpikir kesejahteraan ya kayak gitu modelnya,”‘ jelasnya.
Dia mengungkap, pernah mendapatkan meme yang lumayan menarik.
“Apa bedanya traffic Jakarta kalau semua mobilnya diganti dengan elektrik? Ya, sama aja macetnya gitu-gitu aja,” lanjut Agus.
Dia menerangkan, struktur ekonomi secara fundamental di seluruh dunia harus diubah.
“Pembangunan ekonomi tidak semata-mata memperlihatkan growth kita berapa. Kita mesti mendefinisikan kesejahteraan beyond growth,” terang Agus.
Di negara berkembang, ungkap Agus, tentu saja kita akan melihat angka pendapatan.
Dia menyampaikan, green growth lebih lebih relevan karena dapat membangun tanpa mengorbankan lingkungan dan kerekatan palsu.
“Bahwa ada narasi lingkungan dan ekonomi adalah dikotomi, trade-off, itu narasi palsu. Kita harus melakukan satu paket bahwa lingkungan itu harus dijaga selama kita melakukan pembangunan ekonomi itu sendiri, renewable energy harus dipasang bukan batu bara,” pungkasnya.