Scroll untuk baca artikel
Blog

Pemikiran HMI tentang KeIslaman dan KeIndonesiaan

Redaksi
×

Pemikiran HMI tentang KeIslaman dan KeIndonesiaan

Sebarkan artikel ini

Modernitas yang melahirkan demokrasi bisa kita terima dengan baik. Namun kapitalisme dan neoliberalisme yang juga anak kandung modernitas harus dikritisi secara mendalam. Menerima mereka secara mentah-mentah akan melahirkan kejumudan baru di kalangan umat Islam dan mempertajam polarisasi dunia.

Bukah hanya HMI, para pendiri bangsa juga sangat kritis terhadap kapitalisme, namun menerima demokrasi liberal sebagai pilihan sistem politik yang lebih maju dan inklusif. Seperti disebutkan di awal tulisan ini, pemikiran sosialisme dan tokoh-tokoh sosialis mewarnai kekuasaan Indonesia pada periode awal kemerdekaan. Benar bahwa sosialisme dan bahkan komunisme juga produk modernitas sebagai bentuk kritik kepada kapitalisme.

Yang menjadi tantangan di sini adalah bahwa pemikiran Islam dalam sistem ekonomi misalnya, berada di tengah-tengah antara kapitalisme dan sosialisme. Karena itu, konsep koperasi yang dilahirkan Bung Hatta misalnya, adalah sebuah sistem ekonomi komunal yang didorong untuk dikembangkan oleh HMI. Tujuannya adalah untuk menciptakan keadilan dan keberpihakan kepada kaum mustadh’afin.

Secara umum, sangat luas kajian intelektual HMI berkaitan dengan keislaman dan kemodernan ini. Intinya adalah bahwa HMI memilih jalan tengah dalam berIslam, dimana kita menerima dengan baik sistem demokrasi, namun perlu ada pencarian yang lebih baik terhadap sistem ekonomi liberal yang cenderung melahirkan kesenjangan dan memperbesar marjinalisasi kaum mustadh’afin.

Karena itu, meskipun menyesuaikan dengan konteks represifitas Orde Baru, Nurcholis Madjid (Cak Nur) misalnya mengeluarkan sebuah pernyataan terkenal: “Islam yes, partai Islam no”. Cak Nur sebenarnya ingin mengatakan bahwa konsep berpolitik umat Islam tidak selamanya harus secara simbolik formal, namun juga bisa dilakukan secara substantif. Umat Islam perlu melakukan transformasi ke arah berpolitik secara substantif ini.

Dr. Kuntowijoyo juga demikian. Ia mengatakan bahwa Islam memiliki cita-cita sosial untuk secara terus-menerus menegakkan egalitarianisme. Realitas sosial empiris yang dipenuhi oleh fenomena diferensiasi dan polarisasi sosial, merupakan ajang riel duniawi tempat setiap muslim akan memperjuangkan cita-cita keadilan sosialnya. Keterlibatannya dalam perjuangan inilah yang akan menentukan kualitasnya sebagai khalifatullah fil ‘ardh.

Dengan demikian, Islam menghendaki adanya distribusi kekayaan dan kekuasaan secara adil bagi segenap lapisan sosial masyarakat. Dalam banyak perspektif, Islam juga mengedepankan peran untuk mengutamakan dan membela gologan masyarakat yang tertindas dan lemah seperti kaum dhu’afa dan mustadh’afin.