Scroll untuk baca artikel
Blog

Pemikiran HMI tentang KeIslaman dan KeIndonesiaan

Redaksi
×

Pemikiran HMI tentang KeIslaman dan KeIndonesiaan

Sebarkan artikel ini

Persoalannya adalah tidak mudah mewujudkan cita-cita sosial Islam ini. Terlebih lagi dalam kondisi masyarakat yang dimanjakan oleh arus materialisme sekarang ini. Proses ini memang harus dimulai dari transformasi nilai-nilai Islam, baru kemudian dilakukan lompatan-lompatan dalam dataran praksis. “Pada dasarnya seluruh kandungan nilai Islam bersifat normatif”, demikian Kuntowijoyo.

Menurut Kuntowijoyo, ada dua cara bagaimana nilai-nilai normatif ini menjadi operasional dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, nilai normatif ini diaktualkan secara langsung menjadi perilaku. Untuk jenis aktualisasi semacam ini, contohnya adalah seruan praktis Al-Qur’an, misalnya untuk menghormati orang tua. Seruan ini langsung dapat diterjemahkan ke dalam praktek, ke dalam prilaku. Pendekatan seperti ini telah dikembangkan melalui ilmu fiqh. Ilmu ini cenderung menunjukkan secara langsung, bagaimana secara legal prilaku harus sesuai dengan sistem normatif.

Cara yang kedua adalah mentransformasikan nilai-nilai normatif ini menjadi teori ilmu sebelum diaktualisasikan ke dalam prilaku. Agaknya cara yang kedua ini lebih relevan pada saat sekarang ini, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks masyarakat industri, suatu restorasi yang membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh dari pada sekedar pendekatan legal.

Bagi Kuntowojoto, metode transformasi nilai melalui teori ilmu untuk kemudian diaktualisasikan dalam dimensi praksis, memang membutuhkan beberapa fase formulasi: teologi-filsafat sosial-teori sosial-perubahan sosial. Sampai sekarang ini, kita belum melakukan usaha semacam itu. Bagaimana mungkin kita dapat mengatur perubahan masyarakat jika kita tak punya teori sosial?

Demikianlah sekilas gambaran keislaman dan kemodernan berkembang di dalam HMI yang saya pahami. Kesimpulannya adalah bahwa HMI adalah organisasi yang mendukung keselarasan antara keislaman dan kemodernan, termasuk kehadiran negara bangsa (nation state) yang akan kita bahas di bawah ini.

HMI dan KeIndonesiaan

Selain tantangan dalam menghadapi modernitas, umat Islam juga dihadapkan pada perubahan politik di era modern dengan hadirnya negara bangsa (nation state). Perdebatan pada awal kemerdekaan menggambarkan bagaimana dinamika pergolakan pemikiran politik umat Islam saat bangsa ini didirikan. Pada akhirnya, umat Islam harus membangun konsensus dengan berbagai komponen bangsa lainnya untuk membentuk bangsa baru yang majemuk, yang plural, dan yang kaya dengan keberagaman.

Sebagai sebuah bangsa yang dibayangkan (imagined community)—mengutip Ben Anderson, maka nasionalisme Indonesia adalah sebuah nasionalisme konsensual yang sudah selesai. Artinya, HMI memahami bahwa konsensus kebangsaan kita sudah selesai dengan terbentuknya Indonesia, baik sebagai sebuah bangsa maupun sebagai sebuah negara. Bagi HMI, keIndonesiaan kita sudah selesai dengan disepakatinya konstitusi UUD 1945, dasar negara Pancasila, dan konsensus untuk hidup dalam keberagaman.