PEMILU sekira dua tahun lagi. Namun sejumlah politikus dan juga siapa saja yang berniat menjadi presiden tidak afdol — sebagai kata lain untuk sebuah keharusan — sowan kepada kiai atau pesantren. Posisi kiai dengan pesantrennya tidak hanya penting tetapi juga sangat menentukan.
Gambaran ini menandakan bahwa posisi kiai sebuah faktor yang sangat penting dalam percaturan politik nasional.
Ini diakui bukan hanya di era sekarang tetapi juga dahulu di masa rezim Orde Baru. Posisi seorang kiai memang penting karena ia mempunyai otoritas dan memiliki banyak umat. Lantaran itu dalam pandangan instan elite politik, kiai adalah aset pengumpul suara.
Dalam buku “Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan” (Endang Turmudi, 2004), yang meneropong pasang surut perpolitikan kiai, bisa menjadi bahan rujukan untuk melihat peran kiai dalam dalam setiap perhelatan pemilu.
Kendati hanya meneliti peran kiai di Jombang, Jawa Timur, namun diyakini hasilnya adalah representasi dari peran kiai Nahdlatul Ulama di daerah lain.
Endang Turmudi yang sehari-hari bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memberikan alasan penelitiannya dilakukan di Jombang.
Pertama, hubungan antara kiai dan masyarakat sangat kuat dan menjadi karakter khusus kehidupan umat Islam di Jombang. Di sana kiai menempati posisi yang terhormat.
Kedua, Islam di Jombang telah dan hingga tingkat tertentu masih mengakar dalam kehidupan masyaralat. Ini akibat dari kehadiran pesantren di sana yang memang sudah lama. Bahkan Jombang disebut-sebut sebagai “Kota Santri”.
Melalui pesantren yang dimilikinya para kiai mempunyai peran penting dalam menanamkan nilai-nilai dan norma-norma Islam dalam kehidupan masyarakat Jombang.
Ketiga, umat Islam di Jombang mempunyai akses pada kehidupan sosial politik bangsa yang lebih luas karena mereka mempunyai tokoh-tokoh dengan reputasi nasional. Beberapa kiai dari Jombang adalah para pemimpin nasional baik di NU, PPP atau di era reformasi ini banyak juga yang bergabung di Partai Kebangkitan Bangsa.
Peran kiai dalam kancah politik nasional sempat menyurut sejak NU mengeluarkan kebijakan “kembali ke khittah”. Namun, sebagian kalangan menyebut, penyebab kiai mundur dari ruang politik sebenarnya akibat para kiai tergusur dari PPP, saat partai itu dipimpin J. Naro.
Namun, seiring reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto, peran politik kiai kembali terbuka. Ini bisa ditandai dengan munculnya PKB yang disokong penuh kiai NU. Mencoloknya perolehan suara PKB dalam Pemilu 2004 misalnya dapat juga menandai kebangkitan kiai NU.
Bahkan suara PKB secara nasional 60 persennya dipasok dari Jawa Timur yang menjadi basis nahdliyin. Selain berpolitik langsung melalui partai, para kiai juga dalam mengembangkan otoritasnya banyak yang lebih memilih mengadu tawar dengan penguasa atau elite tertentu.
Menurut Endang Turmudi, praksis mereka adalah menjadi pelegitimasi kekuasaan. Kiai dan penguasa berkolaborasi dan saling tawar hingga kedua pihak merasa saling diuntungkan.
Dari perspektif pemerintah, kekuasaan kiai cukup kuat untuk mempengaruhi tindakan sosial-politik masyarakat. Hal ini karena para kiai adalah pemegang legitimasi keagamaan.
Legitimasi kiai ini oleh pemeritah atau para elite politik dapat digunakan untuk melegalkan tindakan-tindakan duniawi mereka (hal. 264).
Otoritas kiai tak selamanya langgeng. Tak sedikit kiai yang otoritasnya hancur akibat berselingkuh dengan penguasa atau memang mabuk kekuasaan.
Pada saat umat sudah tak percaya lagi dengan otoritas kiai, saat itu juga umat secara perlahan akan meninggalkannya. Kasus ini banyak terjadi pada zaman Orde Baru.