Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Penantian Waktu Salat

Redaksi
×

Penantian Waktu Salat

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Bawaan salat itu kebaikan. Salat itu baik. Jadi, jangan khawatir su’ul khotimah selagi menjaga salat. Konon para sahabat Nabi, selagi salat itu sudah kehilangan segala selain Allah. Tidak lagi ingat yang lain, tidak mengingat apa-apa, selain Tuhan. Sehingga ada riwayat, Umar bin Khattab ketika akan dicabut panah yang menancap di tubuhnya, minta supaya dilakukan pas lagi salat. Agar rasa sakit tak terperikan itu tak dirasa, saking khusyuk ber-muwajahah, berhadap-hadapan dengan Tuhan.

Dan, itu pula kiranya, sahabat-sahabat utama Nabi, meninggal dunia (karena terbunuh) saat mengerjakan salat. Ya, karena mereka, para sahabat itu, ketika salat sudah memunggungi dunia dan segala keramaiannya. Yang wujud hanya Tuhan. Yang benar-benar hidup dalam benak sang sahabat tersebut hanya Allah. Sehingga tatkala musuh datang dan hendak membunuh, sudah tak digubris.

Umar bin Khattab mati ditusuk oleh Abu Lu’luah pas menjadi imam salat. Demikian pula, Ali bin Abi Thalib mati saat subuh oleh Abdurrahman ibnu Muljam, seorang khawarij, kelompok garis keras yang memusuhi Ali bin Abi Thalib.

“Sungguh salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam” (Al-An’am: 162). Hidup dan mati itu kehendak Tuhan. Segala kebaikan lantaran Tuhan.

Nah, sejenak kita telisik: sekarang ini kita hidup, tahukah kenapa masih hidup? Kenapa kita wujud? Bahwa kita pernah tak ada, tapi tahu-tahu ada, dan kini masih segar bugar menghirup udara.

Misal kita beranggapan, kita masih hidup karena tak berpenyakit, jantung kita normal, paru-paru kita masih normal, dan pokoknya semua normal. Lalu (suatu waktu) kita mati, apa lantaran jantung rusak? Apakah paru-paru rusak?

Misal, yang menjadikan kita hidup itu karena jantung dan paru-paru. Lalu, pas kita belum hidup, apakah jantung dan paru-paru kita itu sudah ada terlebih dahulu? Tidak juga, ternyata. Maka, betapa sedikit pengetahuan kita, dan banyak yang kita tak mengerti.

Bahkan apa yang dimaksud dengan kehidupan itu pun kita juga tak paham. Ya, paling banter kita hanya akan bisa bilang: bukan kematian. Bahwa hidup itu bukan mati. Sesimpel itu kira-kira umumnya kita, karena memang tak terjelaskan.

Atau begini: hidup itu bernyawa, dan mati sama artinya tak bernyawa. Sekira kita hidup karena bernyawa, terus nyawa itu sendiri bertempat di mana saat kita masih hidup? Di jantungkah? Atau bertempat di paru-paru? Atau mengeram di otak kita? Dalam kepala kita?

Nah, sungguh! Betapa saat hidup saja ada sesuatu yang belum kita mengerti, terlebih kelak kita bangkit dari kematian (kubur) juga pastilah sulit dijelaskan. Inilah agama berperan. Bahwa wujud kita, datang di luar usaha kita. Pun kelak bangkit dari kubur juga di luar kehendak kita. Semua adalah lillahi rabbil-‘alamin. Cuma, lantaran berakal, seolah kita hidup di dunia ini karena ada peran bapak-ibu dan berikut seterusnya. Bukan karena Tuhan, sehingga kelak bangkit dari kubur dan kehidupan ukhrawi yang abadi dan yang pasti akan dialami, itu menjadi bahasan yang mustahil, sesuatu di luar nalar.

Padahal jelas, kita hidup dari tidak ada, dan di luar kehendak kita. Misal, kini kita berusia 40 tahun, berarti 41 tahun silam dan sebelumnya kita tak berwujud. Itu berbeda sama sekali dengan kelak, hidup kita di kampung akhirat adalah wujud dari wujud yang sudah ada.

Semula kita tidak ada, dan kini ada, berarti ada yang mengadakan, dan lagi-lagi tanpa kehendak kita. Kita tahunya: tahu-tahu ada. Kelak, kita ada sebab keadaan kita sekarang. Maka sungguh, betapa ironis, kita semata mengejar dunia, kehidupan jasmani, tapi abai dengan kehidupan ruhani, dengan hidup ukhrawi. Kita anggarkan seluruh budget untuk membangun badan sedemikian rupa, tapi urung untuk membangun jiwa. Kita habiskan sisa usia demi kesenangan mata, telinga, dan perasaan, tapi luput menyapa nurani yang sambung dengan kampung akhirat.