Padahal jelas, kita hidup dari tidak ada, dan di luar kehendak kita. Misal, kini kita berusia 40 tahun, berarti 41 tahun silam dan sebelumnya kita tak berwujud. Itu berbeda sama sekali dengan kelak, hidup kita di kampung akhirat adalah wujud dari wujud yang sudah ada.
Semula kita tidak ada, dan kini ada, berarti ada yang mengadakan, dan lagi-lagi tanpa kehendak kita. Kita tahunya: tahu-tahu ada. Kelak, kita ada sebab keadaan kita sekarang. Maka sungguh, betapa ironis, kita semata mengejar dunia, kehidupan jasmani, tapi abai dengan kehidupan ruhani, dengan hidup ukhrawi. Kita anggarkan seluruh budget untuk membangun badan sedemikian rupa, tapi urung untuk membangun jiwa. Kita habiskan sisa usia demi kesenangan mata, telinga, dan perasaan, tapi luput menyapa nurani yang sambung dengan kampung akhirat.
Sekali lagi semua kebaikan itu kehendak Tuhan (lillahi rabbil ‘alamin). Dan, asali salat itu kebaikan. Ia merupakan perwujudan paling nyata tentang hubungan dengan Tuhan. Dari segi bahasa, salat berarti doa. Sehingga salat merupakan kebutuhan jiwa, sebab jiwa kita tidak akan luput dari rasa cemas dan harap. Dengan salat jiwa niscaya tenang.
Teristimewa salat bertalian dengan waktu, yang menjadikannya tidak sah jika dilakukan sebelumnya dan tak bernilai sempurna bila dilaksanakan sesudah waktunya berlalu. Sungguh, betapa indah hidup sekira sanggup menjaga waktu salat. Hari-hari kita, ungkap Gus Baha, adalah penantian waktu salat. Saat-saat penghormatan dan pengagungan kepada Tuhan, sekaligus ketundukan dan permohonan kepada-Nya. Begitulah sari kajian Gus Baha yang dapat saya elaborasi di sini, semampu saya tentunya.
Demikian.