Scroll untuk baca artikel
Blog

Pendidikan dan Ajang Bakat Anak Bangsa

Redaksi
×

Pendidikan dan Ajang Bakat Anak Bangsa

Sebarkan artikel ini
Oleh: Adib Achmadi

Ikut bangga ketika Eki, pria kelahiran Indonesia memenangkan ajang pencarian bakat di Italia. Ia berhasil menyisihkan ribuan kontestan pada acara yang bertajuk All Together Now. Banyak yang terpukau oleh penampilan Cahyadi Kam, nama asli Eki saat tampil di atas panggung.

Bahkan dalam satu sesi acara terlihat beberapa kali sorot kamera televisi mengarah pada satu juri yang menunjukkan tangannya merinding lantaran takjub mendengar lengkingan suara Eki.

Publik Indonesia kurang mengenal Eki sebelumnya. Selama ini Ia seorang penyanyi kafe di Jakarta. Pun ketika tinggal di Italia sejak tahun 2019, Eki menjadi penyanyi jalanan di Kota Milan. Beruntung ada warga lokal yang perhatian pada bakat Eki, yang kemudian mendorongnya ikut kontestasi ajang bakat bergengsi itu. Dari situ nama Eki akhirnya berkibar di tengah publik Italia.

Sebagai warga Indonesia tentu turut bangga atas prestasi itu. Setidaknya ada anak bangsa yang memenangkan kompetisi bakat di sebuah negara di daratan Eropa. Tapi bangsa ini tidak hanya punya Eki. Ada sosok lain yang bakatnya tidak kalah mengagumkan. Salah satunya adalah Alip Ba Ta.

Sosok yang bernama asli Alif Gustakhiyat ini amat piawai memetik gitar. Keterampilan bermusik pria kelahiran Ponorogo yang dikenal dengan fingerstyle ini cukup membuat decak kagum musisi dunia, termasuk gitaris papan atas.

Bahkan tak sedikit pemain gitar dibuat frustasi oleh Alip Ba Ta lantaran ketrampilan bergitarnya sulit ditiru. Itu mengapa tayangan Youtube pribadinya cukup viral dan dikunjungi jutaan follower dari berbagai penjuru bumi.

Setidaknya ada dua hal menarik dari kisah dua anak bangsa di atas. Pertama, keduanya sama sama ‘orang biasa’. Mereka sebelumnya tak dikenal publik luas sebagai sosok yang bertalenta.

Kedua, ada momentum dan kesempatan mereka untuk unjuk kemampuan. Eki melalui ajang bakat di manca negara. Sementara Alif ‘sekadar’ unjuk gigi melalui medsos. Talenta kedua orang ini kemudian melambung tak terbendung ‘menembus batas’ geografi. Dunia mendengar, melihat, dan mengakui kehebatan bakat dua orang itu.

Belajar dari kesuksesan Eki dan Alip tidak tertutup kemungkinan bangsa ini memiliki banyak stok manusia bertalenta.

Sebagian dari jutaan generasi muda di negeri ini secara alamiah pasti memikili talenta bawaan yang unik dan mungkin luar biasa. Talenta mereka itu bisa jadi belum terlihat karena berbagai hal di antaranya, pertama, belum ada kesempatan unjuk tampil. Kedua, potensi itu tak terasah karena minimnya wahana aktualilisasi bakat khususnya masa periode emas (golden period) sekitar usia anak dan remaja.

Pada posisi ini institusi pendidikan adalah salah satu wahana strategis bagi ajang bakat generasi muda. Dengan adanya kebijakan wajib belajar sembilan tahun, itu artinya mayoritas generasi muda tertampung dalam wahana pendidikan.

Rentang usia wajib belajar ini masih tergolong dalam periode kritis di mana bakat seseorang berpotensi tumbuh secara optimal. Jika lembaga pendidikan kita ramah terhadap bakat peserta didik, bukan tidak mungkin manusia macam Eki atau Alip Ba Ta ini jumlahnya akan berlipat lipat.

Mungkin di sinilah masalahnya. Dunia pendidikan kita cenderung kurang ramah terhadap bakat peserta didik. Umumnya sekolah menghabiskan waktu siswa untuk belajar dan mengerjakan tugas. Dinamika pendidikan juga cenderung menjurus pada aspek tunggal dan massal, yakni kognitif (pengetahuan). Sementara siswa punya potensi unik, termasuk dalam hal bakat.

Dunia pendidikan mestinya menangkap keunikan potensi siswa ini sehingga ada deteksi talenta sejak dini dan ada ajang aktualisasinya. Inilah salah satu tantangan besar dunia pendidikan kita saat ini yang membutuhkan perhatian serius. []