Scroll untuk baca artikel
Edukasi

Pendidikan Versus Pelatihan

Redaksi
×

Pendidikan Versus Pelatihan

Sebarkan artikel ini

APAKAH yang telah kita berikan kepada mereka itu pendidikan?” (Vol. 6, hal. 2), tanya Charlotte Mason. Pertanyaan yang bak tamparan, selagi kini marak komersialisasi lembaga pendidikan. Juga tamparan buat kita, orangtua, yang keliru mendefinisikan pendidikan, yang akhirnya keliru merumuskan visi pendidikan keluarga.

Charlotte menarik garis tegas perbedaan pendidikan dengan pelatihan. Pendidikan itu berkepentingan dengan pengetahuan. Dan pikiran memainkan peran aktif di dalamnya. Sementara pelatihan berkaitan dengan pengembangan minat bakat. Anak yang belajar memperbaiki komputer, oleh sebagian besar kalangan, akan dimasukkan di ranah pendidikan, padahal menurut Charlotte sebagai pelatihan.   

Dari obrolan dengan kawan-kawan komunitas homescholer Semarang, Klub CMid, saya ketahui bahwa filsuf perempuan asal Inggris itu menganut falsafah Plato. Dan, perihal Plato, sebagaimana kita baca dalam buku Dunia Sophie, membagi realitas, termasuk manusia, menjadi dua dunia: dunia materi dan dunia ide. Dunia materi bekerja dalam rumusan: “segala sesuatu berubah.” Sementara dunia ide bekerja di balik dunia materi, berupa “pola-pola” yang kekal di balik berbagai fenomena yang kita temui di alam (Dunia Sophie, 2014, hal. 148).

Dunia idelah sebagai pengetahuan sejati. Dunia ide adalah jiwa yang abadi, yang tak bersifat fisik. Ia adalah roh. Bersifat spiritual. Ia adalah alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik-buruk, benar-salah, serta keindahan. Dan Charlotte Mason menyebutnya budi.

Menurut Charlotte, terjadinya kekeliruan dalam menangkap hakikat pendidikan lantaran salah memahami tabiat budi. Sebagaimana Plato, yang mengandaikan manusia akan membiarkan jiwanya untuk memulai perjalanan ke dunia ide, menggapai pengetahuan sejati. Namun, kebanyakan manusia justru bergantung pada dunia materi, dunia indra, yang tak lain hanyalah “bayangan” dari roh.  Kebanyakan terjebak pada bayangan, enggan menyusuri jalan rohani, enggan menghakikat diri.

Charlotte merumuskan pendidikan sebagai perkara rohani. Karena “yang bisa dididik dari tiap pribadi adalah budinya, sedang indra dan otot tidak bisa diedukasi, hanya dilatih.” (Vol 6, hal, 20). Jelaslah, pendidikan berkaitan dengan dunia ide, bukan dunia indra. Pendidikan adalah menggugah budi, bukan untuk mengejar “bayangan” atau demi pemenuhan kebutuhan nafkah.  Pendidikan adalah mengenali kodrat spiritual, sehingga otomatis konten yang dipelajari berkaitan dengan segala pemikiran besar, peristiwa besar, sejarah, geografi, sains, seni, etika, dan agama. Pendidikan adalah mengedukasi anak-anak agar membaca buku-buku berkualitas sebanyak-banyaknya.

Kenapa mesti buku?

Bahkan Charlotte pernah mendapat cibiran “belajar kok cuma dari buku.” Dalam risalahnya, Vol. 6 hal. 15, ia mengurai cara kerja budi, sebagai jawaban kenapa mesti buku. Bahwa budi hanya akan berminat pada pemikiran, imajinasi, dan argumen bernalar. Bahwa budi akan bosan oleh ocehan tak bermutu, atau obrolan remeh tak penting dari guru yang boros nasihat dan ceramah. Budi lebih suka sajian yang sastrawi. Dan ke mana lagi hal itu akan diperoleh? Tak bisa tidak, budi maunya makan makanan yang terhidang dalam buku-buku terbaik bermutu sastrawi.

Namun, apakah belajar dari buku itu satu-satunya pendidikan yang baik? Dan saya terkesan jawaban Charlotte, “Orang yang telah membaca dan memikirkan segala macam subjek dan juga mendapatkan pelatihan yang dia butuhkan, akan menjadi orang yang paling mampu.” (Vol. 6 hal. 3).

“Anak adalah pribadi yang dilahirkan”,  butir pertama Charlotte mengenai anak. Sebagai pribadi pasti berhasrat akan pengetahuan. Haus informasi. Maka, sebetulnya orangtua tak perlu repot menyuruh anak belajar. Usah pusing mendesain ruang belajar yang menyenangkan, atau menyiapkan iming-iming menggiurkan. Lantaran anak datang ke dunia ini memang sudah terprogram dengan rasa lapar akan pengetahuan, sekaligus kemampuan memusatkan perhatian.