Perempuan berusia 63 tahun ini menambahkan, apabila tidak dilakukan, pemilu hanya akan menjadi sebatas seremonial saja dan bahkan pilkada untuk 271 daerah.
“Bukan kita menyayangkan membuang-membuang uang, tapi tekad, keseriusan, dan political commitment untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas agar kita naik kelas yang akan datang,” paparnya.
Dia kemudian menyindir hal itu kemungkinan sulit terjadi karena belum lama ini, masyarakat dihebohkan dengan wacara penundaan pemilu dan presiden 3 periode.
Meski sudah ada pernyataan bahwa pemilu akan sesuai jadwal dari Presiden Jokowi, dia menyebut, masyarakat belum yakin jika jabatan presiden hanya 2 periode. Siti Zuhro menjelaskan, ini terjadi karena selama ini kepercayaan masyarakat selalu disia-siakan.
Dia pun mengibaratkan kepercayaan masyarakat sekarang ibarat benang basah yang sulit sekali untuk ditegakkan.
“Seolah-olah sah-sah saja kita mengotak-atik konstitusi, seolah-olah bermain di ruang kosong saja, publik tidak ada. Ini yang membuat publik marah karena dinafikan keberadaannya,” ungkapnya.
Dia pun menyimpulkan, kondisi demokrasi di Indonesia mengarah ke paradoks.
“Banyak orang dibui karena ITE. Jadi, kritis dengan berbuat makar itu beda. Kritis itu memang menjadi bagian tidak terpisahkan dari warga negara yang cinta kepada tanah air. Masyarakat mengawal dan mengingatkan, bagaimana kita sama-sama meluruskan kiblat agar tempat konsesus dasar kita ini betul-betul menjadi panduan kita, menjadi way of life dalam bernegara kita,” tegasnya. [rif]