Scroll untuk baca artikel
Kolom

Pengamat Politik Pensiun Sajalah

Redaksi
×

Pengamat Politik Pensiun Sajalah

Sebarkan artikel ini

DALAM satu wawancara teve, Walikota Solo Gibran santai bicara: pengamat bingung menanggapi saya. Ini kaitannya dengan peristiwa satu menit Gibran mencium tangan Anies Baswedan. Termasuk Mas Totok (nama panggilan seorang pengamat politik) bingung lihat saya, tambah Gibran.

Ya, tampaknya semua pengamat politik gagap menanggapi fenomena walikota yang acap disebut Mas Wali saking mudanya. Dalam setiap acara teve, mereka tidak mampu bicara sedikit pun tentang Gibran.

Selalu mereka, para pengamat itu, mencari sudut (kesalahan orang sampai pada titik sekecil jarum), padahal kehidupan ini bulat (dalam perspektif manusia dan kemanusiaan), hidup ini tidak ada sudutnya.

Ini sama dan sebangun dengan politikus yang bermahkota runcing (bersikap keras, penuh iri dengki dan benci), bagaikan para Kurawa. Tidak ada politikus bermahkota bulat serupa Pandawa.

Ini jadi semacam sumbu terbalik yang bisa membakar diri sendiri. Berbeda dengan sikap Gibran yang bagai sumbu tegak lurus, sehingga nyala bisa menerangi. Tarohlah dimulai saat dia menemui Rocky Gerung. Tidak dikabarkan apakah dia juga mencium tangan Rocky.

Bisa dipastikan sebagaimana keterangannya di televisi, dia orangnya bergaul dengan siapa saja. Tak pandang kubu atau lawan politik. Ini saja bikin bingung para pengamat, apa sebenarnya yang terjadi. Padahal Gibran sudah menjelaskan: saya belajar tidak hanya dari ayah (Jokowi) tapi juga kepada siapa saja.

Dalam imajinasi para pengamat, tentulah yang terjadi, Gibran mendamprat Rocky yang kerap membuli ayahnya dengan kata dungu segala. Jokowi dalam wawancara Karni Ilyas menanggapi tudingan itu dengan telak: itu ciri liberal. Dan, sekali lagi, itu dari Jokowi yang dicap dungu, bukan dari pengamat — kalau begini siapa yang dungu?

Lalu Gibran ‘belajar’ pada orang yang disindir bapaknya sebagai ciri liberal, dan Rocky berkata: Gibran menang banyak. Tentu itu ditujukan bukan kepada masyarakat, tapi terhadap pengamat, dan pengamat pun bingung. Padahal jelas, siapa mendatangi musuh secara baik-baik (bahkan merendah sambil memuji ingin berguru) maka dialah pemenangnya.

Para Kurawa jelas tidak mudeng kebulatan (tekad) semacam itu, maunya yang runcing-runcing, menikam menusuk merobek-robek. Termasuk saat mereka harus menanggapi Gibran cium tangan Anies. Betapa Kurawa gaduh, menikam-nikam tak jelas ke segala arah. Padahal Gibran santai saja menjawab: kami bersilaturahmi. Sederhananya, bertemu.

Tapi apakah seklas Kurawa paham bahwa pertemuan bukan peristiwa sepele. Pertemuan itu keindahan, keindahan itu pertemuan. Dan Gibran memberi hadiah itu kepada kita. Hadiah (berpolitik) yang indah. Bahwa politik bukan sekadar taktik, seperti yang ada dalam imajinasi politikus dan pengamat politik. Sekalipun, politik identifikasi dari taktik.

Tampaknya, ada lowongan besar sebagai pengamat politik bagi Generasi G(ibran). Kata kuncinya, dengan perspektif manusia dan kemanusiaan secara adab budaya. Tentu saja setelah dengan rela, para pengamat politik generasi Kurawa pensiun.

Kita tunggu.***