BARISAN.CO – Direktur Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto mengatakan setelah diskusi yang intensif selama 3 hari perihal masalah-masalah demokrasi di Indonesia. Yang kita dengar, situasi demokrasi Indonesia sangat panas, upaya koalisi terus terjadi, dan belum ada satupun yang deal.
“Kita ingin menyampaikan bahwa menuju Pemilu bukan hanya soal koalisi dan hasil survei, tetapi juga soal isu-isu penting untuk Pemilu 2024 nanti,” jelasnya dalam seminar Penutupan Sekolah Demokrasi yang diselenggarakan LP3ES, KITLV, UNDIP dan PPI Leiden, Sabtu (25/6/2022)
Wijayanto menyampaikan sekolah Demokrasi LP3ES yang kali ini dilaksanakan di Belanda menjadi amat penting mengingat suhu politik di Indonesia yang meninggi.
“Saat pemilu kian dekat, elit politik tampak hanya sibuk untuk menggalang koalisi, melakukan kampanye untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas namun jarang kita temukan diskusi substantive tentang masalah-masalah public,” imbuhnya
Menurut Wijayanto tidak berlebihan jika disebut Pemilu 2024 adalah pertaruhan keberlangsungan demokrasi, karena tren kemunduran demokrasi yang terus berlangsung bahkan mengarah pada putar balik ke arah otoriterisme.
“Salah satu ancaman serius yang sempat muncul adalah adanya upaya pengingkaran terhadap konstitusi melalui wacana amandemen undang-undang dasar untuk memperpanjang masa jabatan presiden,” ujarnya.
Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Didik J Rachbini mengatakan yang patut dicatat dari sekolah demokrasi kali ini, banyak bermunculan gagasan dan ide-ide cemerlan dari peserta. Hal itu diharapkan bisa memotret peta atau keadaan sistem politik dan demokrasi Indonesia kontemporer.
“Para intelektual muda yang sedang aktif studi di Eropa/Belanda merupakan cikal bakal generasi baru perpolitikan Indonesia ke depan yang sepertinya akan mampu memperbaiki keadaan,” sambungnya
Menurut Didik dari forum diskusi yang ada, tergambar situasi yang dihadapi ke depan bukan hanya Pemilu 2024 tetapi juga sekaligus adanya bencana ekonomi, krisis pangan dan energi. Subsidi bahan bakar pemerintah saat telah menyentuh angka Rp500 triliun.
“Amat penting juga mengkaji, bagaimana mencegah politik uang yang massif,” ujar Didik.
Sementara itu, Peneliti KITLV Leiden, Ward Berenschot mengatakan tantangan demokrasi di Indonesia masih berkisar pada tingginya tingkat korupsi, oligarki, parpol yang perlu dibenahi. Tantangan terasa semakin besar, semakin berbahaya bagi demokrasi.
“Akan banyak orang yang frustrasi dan memilih berpikir pintas untuk mengembalikan saja keadaan ke era diktator pada masa yang lalu. Untuk sangat dihargai dalam sekolah demokrasi kali ini ada beberapa gagasan penting untuk keluar dari tantangan demokrasi di Indonesia,” terang Guru Besar Universitas Amsterdam ini.
Persoalan lingkungan, Mahasiswa Doktoral Universitas Leiden Yogi Setya Permana mengatakan masalah kerusakan alam adalah masalah serius yang sama pentingnya dengan masalah sandang pangan karena ia juga mengancam kebertahanan hidup warga.
“Masalah ini tidak dapat dipisahkan dari politik. Lingkungan yang rusak adalah produk dari kebijakan politik,” tegas perwakilan peserta Sekolah Demokrasi ini.
Lain lagi dengan Gita Dwi Darmara dan Kemal Farizan yang menyorot berbagai isu-isu penting yang telah dibahas sebelumnya adalah bahwa masyarakat Indonesia tidak akan punya kesadaran akan pentingnya pembasmian korupsi, politik uang, pentingnya kelestarian lingkungan dan berbagai isu-isu lainnya apabila kebutuhan primer dan kesejahteraan masyarakat belum terpenuhi.
Perwakilan PPI Leiden ini, akar solusi dari segala masalah yang ada di Indonesia adalah kesejahteraan masyarakat Indonesia itu sendiri.