Kecepatan vaksinasi penduduk masih rendah. Target vaksinasi sampai akhir 2021 diperkirakan tidak tercapai. Soal evikasi vaksin juga harus dijelaskan, mengapa dipilih sinovac ketimbang Astra Zeneca yang jelas lebih baik.
Penyebab Kegagalan Kebijakan Publik
Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini menyampaikan perlunya telaah dan mengambil pelajaran situasi pandemi Covid-19.
Apa penyebab Indonesia jadi epicentrum baru pandemi Covid-19 di dunia. Ada 7 faktor penyebab kegagalan kebijakan pengendalian Covid-19, yaitu:
Pertama, pemerintah memulai dengan respons lengah, eskapis, denials. Komunikasi pemerintah kepada masyarakat ihwal kebijakan penanganan pandemi buruk. Infomasi tidak jelas dan membuat kebingungan masyarakat. Ketika di awal pandemi, ada puluhan komunikasi pejabat publik membingungkan, seperti Covid-19 tidak berkembang di tropis, Covid-19 pakai nasi kucing, susu kuda liar dll. Indonesia kehilangan golden time yang seharusnya jika ditangani dengan tepat, akan meminimalisir dampak buruk pada hari ini.
Kedua, aspek organisasi, yaitu penanganan pandemi Covid 19 tidak jelas koordinasinya. Terlalu gemuk dan dikerjakan secara partime sebagai kerja sambilan dari kerja utama di kementerian. Hal itu semua adalah cermin dari produk kepemimpinan yang lemah dan tidak kredibel. Tidak berani lockdown, tidak efektif. Padahal kepemmipinan di masa krisis amat berbeda ketika di masa normal. Kepemimpinan di Indonesia jelas sedang diuji.
Ketiga, adalah kepemimpinan di semua level bermasalah. Komando tidak satu arah tapi banyak arah dan membingungkan. Pimpinan lembaga untuk pengendalian covid berganti-ganti. Bahkan sejak awal juga bahkan ada friksi pusat dan daerah.
Kempat, kebijakan ekonomi lebih menjadi pilihan utama di masa pandemi. Porsi anggaran kesehatan di APBN justru sedikiti dan terabaikan. Prioritas menjadi terbalik balik dan salah kaprah.
Kelima, komitmen kepada mitra, tenaga kesehatan dan rumah sakit sebagai mitra dan stakeholder, amat lemah. Nakes dan rumah sakit banyak yang belum dibayar. Nakes banyak terpapar. Obat-obatan hilang dari pasaran.
Keenam, data resmi terlalu berbeda, sangat terlalu rendah, tidak mencerminkan data sesungguhnya di lapangan. Tetapi masalahnya pemerintah hanya mengambil data resmi yang justru tidak sesuai data lapangan. Seharusnya, data resmi sebagai proksi saja. Hasil riset Djayadi Hanan, Ph.D dosen Universitas Paramadina menyebutkan 10 % keluarga sampel di Indonesia telah terpapar Covid-19. Hal itu berarti yang terkena bisa 10-15 juta orang. Begitu pula laporan daerah kurang cepat, kurang komprehensif.
Ketujuh, anggaran untuk PEN ekonomi mayoritas non kesehatan dan jauh dari memadai untuk kesehatan. Dana PEN Rp 690 triliun kebanyakan untuk membenahi ekonomi. Karenanya tidak heran jika muncul masalah nakes tidak dibayar, oksigen bermasalah, rumah sakit belum dilunasi. Dan lain-lain. Terjadi penggelembungan dana dengan utang yang sebagiannya merupakan produk perburuan rente.