Banyaknya kematian yang terjadi di luar rumah sakit dari warga yang terpapar covid 19, adalah bukti ketidakmampuan negara untuk melindungi warganya. Asumsi adanya skema terburuk 40 ribu angka positif covid 19 per hari saat ini menunjukkan Indonesia sudah tidak mampu menangani pandemi Covid 19 dengan baik. Hal itu akibat dari belum adanya kesamaan visi dan persepsi yang memadai antara pemerintah dan masyarakat.
Gonta ganti istilah dalam penanganan pandemi PSBB, PPKM mikro, PPKM tingkat 4 dan lain-lain berperan dalam meningkatkan overload informasi pada masyarakat. Tdak fokus, disertai rendahnya angka tracing dan testing yang ditingkahi ulah kepala daerah yang mengurangi angka terpapar.
Perlu diwaspadai daerah luar Jawa akan adanya tsunami korban covid 19 pada Agustus – Oktober 2021, setelah Jawa-Bali menjadi pusat penyebatan varian baru C19, padahal, kesiapan alkes dan faskes di Jawa-Bali relative lebih baik dibanding daerah di luar Jawa.
Kecepatan vaksinasi penduduk masih rendah. Target vaksinasi sampai akhir 2021 diperkirakan tidak tercapai. Soal evikasi vaksin juga harus dijelaskan, mengapa dipilih sinovac ketimbang Astra Zeneca yang jelas lebih baik.
Penyebab Kegagalan Kebijakan Publik
Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini menyampaikan perlunya telaah dan mengambil pelajaran situasi pandemi Covid-19.
Apa penyebab Indonesia jadi epicentrum baru pandemi Covid-19 di dunia. Ada 7 faktor penyebab kegagalan kebijakan pengendalian Covid-19, yaitu:
Pertama, pemerintah memulai dengan respons lengah, eskapis, denials. Komunikasi pemerintah kepada masyarakat ihwal kebijakan penanganan pandemi buruk. Infomasi tidak jelas dan membuat kebingungan masyarakat. Ketika di awal pandemi, ada puluhan komunikasi pejabat publik membingungkan, seperti Covid-19 tidak berkembang di tropis, Covid-19 pakai nasi kucing, susu kuda liar dll. Indonesia kehilangan golden time yang seharusnya jika ditangani dengan tepat, akan meminimalisir dampak buruk pada hari ini.
Kedua, aspek organisasi, yaitu penanganan pandemi Covid 19 tidak jelas koordinasinya. Terlalu gemuk dan dikerjakan secara partime sebagai kerja sambilan dari kerja utama di kementerian. Hal itu semua adalah cermin dari produk kepemimpinan yang lemah dan tidak kredibel. Tidak berani lockdown, tidak efektif. Padahal kepemmipinan di masa krisis amat berbeda ketika di masa normal. Kepemimpinan di Indonesia jelas sedang diuji.
Ketiga, adalah kepemimpinan di semua level bermasalah. Komando tidak satu arah tapi banyak arah dan membingungkan. Pimpinan lembaga untuk pengendalian covid berganti-ganti. Bahkan sejak awal juga bahkan ada friksi pusat dan daerah.