Barisan.co – Peluang dibatalkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja nyaris tertutup. Tuntutan agar Presiden mengeluarkan Perppu guna membatalkan UU ini pun cenderung diabaikan.
Mau tidak mau, aliansi masyarakat harus menggugat lewat judicial review ke Mahkamah konstitusi. Dan lagi-lagi: peluangnya tipis sekali. Dapat diasumsikan, UU Omnibus Law hampir pasti berlaku.
Dalam pada itu, salah satu yang penting diperhatikan adalah implementasi aturan-aturan tentang penyederhanaan izin usaha. Jelas di balik penyederhanaan itu ada konsekuensi yang tidak sederhana. Terutama kaitannya perizinan Amdal yang tidak lagi mengedepankan transparansi dan partisipasi publik.
“Omnibus Law menghapus Komisi Amdal, diganti dengan tim bentukan pemerintah yang tidak melibatkan wakil masyarakat dan organisasi lingkungan hidup dalam proses penilaian dokumen Amdal,” ujar ahli hidrologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Yanto P.hD kepada tim barisanco, (15/20).
Padahal, menurut Yanto, selama ini perusahaan publik cenderung tertib menaati Amdal. Terutama yang bisnisnya terhubung perusahaan asing baik terkait bahan baku maupun produk. Artinya, sebagai konsep preventif, secara umum Amdal sudah berjalan baik.
“Pemerintah menegakkan sanksi bahkan menutup operasi perusahaan yang merusak lingkungan. Ada beberapa kasus, misal penutupan tiga perusahaan pengolahan cangkang sawit oleh Pemko Padang pada tahun 2016, penutupan perusahaan kertas di Karawang karena mencemari sungai Citarum.”
“Yang perlu dikawal justru peraturan turunan dari Omnibus law yang membahas kriteria kegiatan wajib Amdal dan ketentuan-ketentuan teknisnya,” kata Yanto, P.hD.
Aturan Turunan
UU Omnibus Law Cipta Kerja dibuat dengan maksud mengatasi banyaknya peraturan saat ini. Namun di sisi lain, UU ini malah mensyaratkan adanya berbagai aturan turunan.
Setidaknya, akan ada 35 peraturan pemerintah (PP) dan 5 Peraturan Presiden (Perpres) yang disiapkan sebagai peraturan turunan dari UU Cipta Kerja. Di bidang lingkungan hidup, Menteri LHK Siti Nurbaya telah membentuk tim penyusun rancangan peraturan pemerintah (RPP) untuk menindaklanjuti UU Cipta Kerja.
“Pembentukan Tim RPP ini sesuai instruksi Presiden agar segera disusun Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan UUCK agar implementasinya dapat segera diterapkan,” ujar Menteri Siti, Rabu (14/10/2020). Dikutip dari RRI.
Tim Siti Nurbaya terdiri dari RPP Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, RPP Bidang Kehutanan, dan RPP Bidang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Denda Administratif.
Sebanyak 40 produk peraturan (PP dan Perpres) tindak lanjut UU Cipta Kerja ini layak dikawal ketat. Berkaca dari pengalaman, peraturan di bawah undang-undang biasanya lebih ‘mengerikan’ daripada UU itu sendiri.
Dulu, Penetapan Presiden (Penpres) No. 11 Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi tidaklah terlalu mengatur. Penpres itu baru nyata berbahaya setelah diterjemahkan Mendikbud Daoed Joesoef ke dalam SK No. 0156/U/1978, tanggal 19 April 1978, dan melahirkan konsep NKK/BKK yang kemudian memberangus kebebesan berpendapat mahasiswa.
Masih banyak aturan turunan yang lebih bermasalah daripada aturan induknya. Selain Omnibus Law Cipta Kerja, ada juga UU KPK dan UU MK yang diprediksi akan memiliki aturan turunan yang juga bermasalah.
Diperlukan kontrol ketat mengenai materi muatan antara peraturan pemerintah dan peraturan presiden. Agar tidak terjadi tumpang tindih yang membingungkan secara praktik dan merugikan banyak pihak. []