Scroll untuk baca artikel
Blog

Perempuan dalam  Lingkaran – Sapto Wardoyo

Redaksi
×

Perempuan dalam  Lingkaran – Sapto Wardoyo

Sebarkan artikel ini

WANITA yang bernama Susi itu hanya tersipu malu ketika aku tanya apakah dia sudah menikah ataukah belum. Hanya tersenyum dan saling berpandangan dengan Puput, temannya. Sepertinya dia merasa berat untuk menjawab pertanyaanku.

“Malu ya?” tanyaku.

“Sudah, pak,” akhirnya Susi menjawab.

“Nah, begitu kan bagus. Sudah punya anak?” Susi mengangguk. “Berapa?” buruku lagi.

“Satu, pak.” Jawabnya.

“Suamimu kerja di garmen juga?” aku semakin kepo. Kali ini kembali Susi terdiam. Mempermainkan sebuah baju yang sedang di lipatnya. Aku seperti menangkap sesuatu pada raut wajah Susi. Mungkin sedih, atau apalah aku tak bisa memastikan. Dia memandangku, lalu kembali menatap baju yang sedang di pegangnya.

“Saya sudah pisah pak.” Jawabnya pelan sekali.

Aku terhenyak. O, pantas tadi agak malu-malu menjawabnya. Ternyata ada sesuatu yang sebenarnya ingin disembunyikan. Ah, aku terlalu ingin tahu, pikirku. Tapi sudah kepalang tanggung, barusan  Susi mengatakan kalau sudah pisah dengan suaminya, aku ingin tahu apa penyebabnya.

“Kenapa?” aku mengejarnya. Susi tak segera menjawab, tangannya meraih tumpukan baju yang sudah dilipat dengan rapi, lalu menaruhnya ke dalam sebuah keranjang plastik. Kali ini aku tak mengulangi pertanyaanku, dan menunggu sampai Susi menjawab dengan sendirinya. Karena aku pikir aku akan mendapat sebuah jawaban yang klise, mungkin bukan jodoh pak, pasti itu jawabannya. Tapi ternyata aku keliru.

“Dia lebih sayang sama istri pertamanya pak, dan kembali ke rumah istrinya.” Kembali aku terhenyak.

Sejenak aku memandang wajah Susi. Menurut perkiraanku, barangkali  usianya belum 25 tahun. Masih lebih muda dari Puput. Wajahnya cukup cantik dengan postur tubuh yang sedang. Dandannya juga biasa-biasa saja, tak terlalu menor.

“Tunggu dulu, katamu dia lebih sayang sama istri pertamanya? Jadi, ketika menikah dengan kamu dia sudah punya istri. Kamu tahu itu?” Susi mengangguk.

Aku terperangah. Sekilas aku memandang Puput, dan dia tersenyum. Puput sudah sering kali menemaniku setiap kali aku melakukan pekerjaanku di pabrik ini. Sementara Susi, aku baru dua kali bertemu dengannya.  Aku yakin Puput sudah tahu dengan hal ini, segala kejadian di pabrik biasanya beredar dengan cepat dari mulut ke mulut.

“Dan orang tuamu juga tahu?” tanyaku lagi.

Dan lagi-lagi Susi menganggukkan kepalanya. Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran kursi, lalu memandang Susi dengan lebih seksama, ini benar-benar aneh, pikirku. Bagaimana mungkin seorang perempuan yang masih gadis, dengan sadar mau menikah dengan seorang lelaki yang sudah beristri. Dan orang tuanya  juga merestui.