WANITA yang bernama Susi itu hanya tersipu malu ketika aku tanya apakah dia sudah menikah ataukah belum. Hanya tersenyum dan saling berpandangan dengan Puput, temannya. Sepertinya dia merasa berat untuk menjawab pertanyaanku.
“Malu ya?” tanyaku.
“Sudah, pak,” akhirnya Susi menjawab.
“Nah, begitu kan bagus. Sudah punya anak?” Susi mengangguk. “Berapa?” buruku lagi.
“Satu, pak.” Jawabnya.
“Suamimu kerja di garmen juga?” aku semakin kepo. Kali ini kembali Susi terdiam. Mempermainkan sebuah baju yang sedang di lipatnya. Aku seperti menangkap sesuatu pada raut wajah Susi. Mungkin sedih, atau apalah aku tak bisa memastikan. Dia memandangku, lalu kembali menatap baju yang sedang di pegangnya.
“Saya sudah pisah pak.” Jawabnya pelan sekali.
Aku terhenyak. O, pantas tadi agak malu-malu menjawabnya. Ternyata ada sesuatu yang sebenarnya ingin disembunyikan. Ah, aku terlalu ingin tahu, pikirku. Tapi sudah kepalang tanggung, barusan Susi mengatakan kalau sudah pisah dengan suaminya, aku ingin tahu apa penyebabnya.
“Kenapa?” aku mengejarnya. Susi tak segera menjawab, tangannya meraih tumpukan baju yang sudah dilipat dengan rapi, lalu menaruhnya ke dalam sebuah keranjang plastik. Kali ini aku tak mengulangi pertanyaanku, dan menunggu sampai Susi menjawab dengan sendirinya. Karena aku pikir aku akan mendapat sebuah jawaban yang klise, mungkin bukan jodoh pak, pasti itu jawabannya. Tapi ternyata aku keliru.
“Dia lebih sayang sama istri pertamanya pak, dan kembali ke rumah istrinya.” Kembali aku terhenyak.
Sejenak aku memandang wajah Susi. Menurut perkiraanku, barangkali usianya belum 25 tahun. Masih lebih muda dari Puput. Wajahnya cukup cantik dengan postur tubuh yang sedang. Dandannya juga biasa-biasa saja, tak terlalu menor.
“Tunggu dulu, katamu dia lebih sayang sama istri pertamanya? Jadi, ketika menikah dengan kamu dia sudah punya istri. Kamu tahu itu?” Susi mengangguk.
Aku terperangah. Sekilas aku memandang Puput, dan dia tersenyum. Puput sudah sering kali menemaniku setiap kali aku melakukan pekerjaanku di pabrik ini. Sementara Susi, aku baru dua kali bertemu dengannya. Aku yakin Puput sudah tahu dengan hal ini, segala kejadian di pabrik biasanya beredar dengan cepat dari mulut ke mulut.
“Dan orang tuamu juga tahu?” tanyaku lagi.
Dan lagi-lagi Susi menganggukkan kepalanya. Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran kursi, lalu memandang Susi dengan lebih seksama, ini benar-benar aneh, pikirku. Bagaimana mungkin seorang perempuan yang masih gadis, dengan sadar mau menikah dengan seorang lelaki yang sudah beristri. Dan orang tuanya juga merestui.
“Awalnya dia sayang banget sama saya, pak. Jadi saya mau saja ketika dia mau mengajak nikah. Dan ketika hal ini saya sampaikan pada mamah, mamah hanya bilang terserah. Yang penting dia cinta dan sayang sama kamu, begitu kata mamah. Eh, setelah setahun kami menikah, dia jadi berubah pak. Jadi jarang datang, kalau ditanya katanya sibuk dengan pekerjaan, akhirnya ya hilang begitu saja. Sudah setahun ini tak ada kabar sama sekali. Mau bagaimana lagi pak, saya hanya bisa pasrah.” Kata Susi mengakhiri ceritanya yang tanpa aku minta.
Aku masih memandangi wajah Susi, sungguh aku merasa ada yang membuat diriku terkesima. Bukan tentang wajah cantiknya itu, tapi tentang mudahnya sebuah proses dari seseorang yang ingin memasuki sebuah kehidupan berumah tangga. Apalagi proses itu bisa dibilang sungguh tak lazim. Oh my God!
“Aduh Susi, kenapa ini bisa terjadi? Kenapa kamu mau menikah dengannya kalau kamu tahu dia sudah punya istri? Kan banyak yang masih lajang, kenapa harus memilih yang sudah punya istri Susi?” tanyaku seperti ikut menyesali dengan apa yang terjadi pada diri Susi.
“Mungkin sudah nasib saya pak.” Jawab Susi pasrah.
“Nasib yang seharusnya sangat bisa kamu hindari. Tapi menurut aku, justru kamu sendiri yang memasrahkan dirimu pada nasib itu. Sekarang anakmu ikut siapa?”
“Sama mamah saya pak.”
“Dia masih kasih kamu uang untuk biaya anakmu?” dengan pasrah Susi menggeleng. “Jadi kamu sendiri yang tanggung biaya hidup anakmu?” lagi-lagi Susi mengangguk, lagi-lagi dalam kepasrahan.
Aku hanya bisa menatapnya dengan penuh keheranan. Heran dengan apa yang telah terjadi dengan hidup Susi, heran dengan apa yang dilakukan oleh suaminya. Bisa setega itukah seorang laki-laki? Kalaupun dia tega dengan Susi, harusnya dia tak tega dengan anaknya, darah dagingnya sendiri. Tapi itulah yang terjadi. Ketika seorang laki-laki tak mampu menguasai hawa nafsunya dan akhirnya tak bertanggung jawab dengan apa yang sudah dilakukannya, maka seorang wanita harus pasrah menerima nasibnya, seperti pasrahnya seorang Susi.
Akhirnya Susi pamit untuk membawa baju-baju yang sudah aku cek, untuk dibawa ke produksi dan di paking lagi. Puput masih tinggal bersamaku.
“Kamu kenal dengan suaminya Susi, Put?’ tanyaku. Puput menggeleng.
“Tidak pak, kan kejadiannya sebelum Susi kerja di sini. Saya tahu kisahnya karena dia sendiri yang cerita ke saya. Katanya suaminya itu memang orang berduit pak, bisnis jual beli stok garmen.” Jawab Puput.
“Ini suatu hal yang sangat aneh, Put. Kenapa orang tuanya Susi kok juga mendukung kalau sudah tahu bahwa calon suami anaknya itu sudah punya istri. Ini kan sama saja dengan menjerumuskan anaknya sendiri kan? Kecuali kalau duda ya lain hal.”
“Mungkin Susi dan juga mamanya terjebak, pak.”
“Terjebak bagaimana?” tanyaku.
“Ya, seperti kata Susi tadi, pas awal pendekatan pasti dia menunjukkan sikap yang wow! Apalagi dia juga berduit dan pastinya juga tidak pelit, inilah yang membuat Susi klepek-klepek, lalu pasrah secara total. Hingga akhirnya jadi seperti ini.” Kata Puput.
“Ah, terkadang anak-anak itu memang terlalu gampang mempertaruhkan masa depannya demi kesenangan yang sebenarnya semu. Apalagi kalau mereka berwajah cantik dan banyak penggemarnya, itu sesuatu yang rawan.”
“Betul pak. Gosipnya sih , Susi juga sudah punya pacar lagi pak.” kata Puput.
“Yang benar?”
“Ada yang bilang begitu, pak. Benar tidaknya, saya juga kurang tahu pasti.”
“Biarlah, itu hak dia. Semoga saja dapat yang benar, bujangan atau setidaknya duda jadi pengalaman buruk itu tak terulang lagi.”
“Amin!” kata Puput.
Hari sudah sore, dan pekerjaanku juga sudah selesai. Setelah membereskan semua peralatan kerja, aku pamit pulang. Kembali menempuh perjalanan yang cukup jauh, Sukabumi-Jakarta. Semoga tidak macet, tapi sore begini pasti rawan kemacetan karena bertepatan dengan jam pulang para karyawan pabrik.
* * *
Entah kenapa, dalam perjalanan pulang aku selalu ingat dengan kisah Susi. Seorang perempuan yang terjebak dalam perasaan cinta yang mungkin buta. Karena dia jatuh cinta dengan seorang laki-laki yang sudah beristri. Dan akhirnya dia harus menanggung beban, baik mental maupun beban secara ekonomi.
Berjuang sendiri menanggung biaya hidup anaknya, di samping status dirinya yang entah jelas apa tidak. Dan hal seperti ini memang sering terjadi dalam kehidupan karyawan pabrik. Kalau seorang perempuan tidak pandai-pandai menjaga diri, menjaga perasaan, akan ada kemungkinan besar terjebak dalam perasaan cinta buta. Dan ini sudah banyak kasusnya. Aku sendiri sebagai seorang QC atau Quality Control setiap hari selalu berhubungan dengan pabrik dan segala seluk beluknya.
Dan setiap kali aku menjalani pekerjaanku, selalu ada yang menemani untuk membantuku mempersiapkan baju atau barang apa saja yang hendak aku cek. Dan selalu wanita, dan tak jarang mereka cantik-cantik. Dan kalau kita tak mampu mengontrol diri kita, bukan tak mungkin akan terjadi sebuah hubungan yang lebih dari sekedar menemani dan membantu dan berlanjut sampai di luar pabrik.
Aku pernah melihat sendiri sebuah peristiwa yang sebenarnya sangat memalukan. Di sebuah pabrik di daerah Parung Kuda, Sukabumi. Manager QC di pabrik itu, namanya Dadang, aku sangat mengenalnya. Karena sebagai QC setiap kali aku mau memberikan komen atau arahan selalu berhubungan dengan dia. Suatu siang tiba-tiba dia didatangi oleh istrinya dan terjadilah keributan di pos Satpam antara dia dan istrinya dan juga melibatkan seorang perempuan lain yang tak aku kenal, tapi masih karyawan pabrik itu juga.
Usut punya usut, ternyata Dadang terlibat perselingkuhan dengan salah seorang staf finishing nya. Tak tahu siapa yang lapor ke istrinya hingga ia tahu dan melabraknya. Dan selama beberapa hari, berita itu menjadi pembicaraan dari mulut ke mulut. Dan tentunya membuat Dadang dan selingkuhannya merasa malu bukan main. Hingga akhirnya mereka memutuskan keluar dan tidak bekerja di situ lagi. Dan menurut cerita salah seorang karyawan di situ, istrinya menuntut cerai. Dan Dadang sendiri melanjutkan hubungannya dengan wanita selingkuhannya itu. Kejadian itu sudah cukup lama, barangkali sekitar dua tahun yang lalu.
Kesenangan yang sesaat, namun akibatnya sungguh fatal. Dan anehnya, terkadang mereka juga tidak belajar dari apa yang sudah terjadi di sekitar mereka dengan segala akibatnya. Mereka seperti sengaja membuat lingkaran itu dan kemudian mereka masuk di dalamnya, dan akhirnya mereka terjebak tanpa mampu keluar dari lingkaran itu. Kasus-kasus seperti itu masih saja sering terjadi di banyak pabrik.
Kembali aku berpikir tentang Susi. Apakah dia belajar dari pengalaman hidupnya itu? Menjauhkan dirinya dari lingkaran itu. Mencari teman hidup yang aman dan menjanjikan sebuah masa depan. Tentu yang menjadi tolak ukur di sini bukanlah soal materi. Tapi setidaknya dia mendapatkan seorang lelaki yang benar-benar mau menemani dirinya menjalani sebuah kehidupan rumah tangga yang wajar. Ataukah dia akan jatuh di lubang yang sama? Menjalin hubungan dengan seorang lelaki yang sudah berkeluarga dan berakibat dengan sesuatu yang menyakitkan. Ditinggal begitu saja tanpa tanggung jawab apa pun. Ah, betapa biadabnya laki-laki semacam itu.
* * *
Dua minggu kemudian aku kembali datang ke pabrik itu, dan saat itu aku hanya ditemani oleh Puput karena pekerjaanku tak terlalu banyak. Ketika waktu menunjukkan pukul empat sore, aku sudah menyelesaikan pekerjaanku, maka aku pun siap-siap untuk pulang.
Tapi begitu sampai di halaman pabrik, ternyata waktunya berbarengan dengan bubarnya para karyawan, dan tentu ini perlu waktu untuk bisa keluar dari halaman pabrik. Karena ratusan karyawan keluar secara bersama-sama, dan sebagian karyawan memarkirkan motornya di halaman pabrik.
Terpaksa mobilku merayap secara perlahan. Setelah dicarikan jalan oleh satpam, akhirnya mobilku sampai di pintu gerbang. Dan kembali aku harus menunggu, karena di depan pintu gerbang begitu banyak motor berhenti, saya kira pasti motor penjemput karyawan. Entah orang tuanya, ojek langganan atau mungkin pacarnya.
Tiba-tiba aku melihat sosok Susi melintas di depan mobil, awalnya aku ingin membunyikan klakson untuk menarik perhatiannya. Kalau dia menoleh ke arahku, aku ingin menyapanya biarpun hanya dengan melambaikan tangan. Tapi aku urung kan, aku tak mau memancing perhatian banyak orang.
Akhirnya sambil menunggu dapat jalan, aku mengamati Susi yang sedang berjalan menuju seseorang yang sedang menunggunya di atas motor yang kira-kira berjarak sekitar 20 meteran dari mobilku. Aku mengamatinya sampai Susi naik di jok belakang motor tersebut, dan akhirnya melaju meninggalkan lokasi pabrik. Aku terkesima. Berarti apa yang waktu itu dikatakan Puput kalau Susi sudah mempunyai seorang pacar, benar adannya.
Lalu aku teringat ucapanku yang berupa doa, semoga Susi mendapatkan seorang calon pendamping hidup yang benar, syukur-syukur seorang bujangan atau mungkin seorang duda. Dan aku juga masih ingat, Puput mengaminkan ucapanku itu.
Tapi bagaimana kalau sebaliknya? Bagaimana kalau apa yang sudah pernah terjadi dalam kehidupan Susi itu terulang lagi? Segala sikap baik yang di tunjukkan oleh lelaki itu, segala apa yang diberikan oleh lelaki itu, segala perhatian yang di berikan oleh lelaki itu, kembali menjadi jerat baginya.
Seperti kata Puput, semua itu akan membuat Susi klepek-klepek lalu pasrah secara total. Dan kalau hal buruk itu terjadi, mereka menikah secara diam-diam, punya anak, lalu dalam satu atau dua tahun kemudian lelaki itu kembali meninggalkan Susi. Apa yang akan terjadi?
Penderitaan sudah barang tentu. Lalu beban kehidupan yang semakin bertambah, sebagai seorang karyawan pabrik dengan upah UMR yang harus berjuang sendirian untuk mencukupi kebutuhan dua orang anak. Ah, sesuatu yang sangat miris. Dan entah kenapa, aku merasa bahwa sesuatu yang buruk itu akan kembali menimpa kehidupan Susi.
Aku menghela nafas. Masih terbayang bagaimana laki-laki itu tersenyum ketika Susi menghampirinya, begitu manis. Lalu pandangannya yang seakan-akan begitu mesra dan penuh perhatian. Susi tak menyadarinya, jika laki-laki itu sedang membuat sebuah lingkaran dan bersiap untuk menjebak dirinya. Dan itulah ancaman bagi Susi, karena aku tahu siapa laki-laki itu.
Dia adalah Dadang!
Bekasi, Desember 2021.

Sapto Wardoyo, kelahiran Madiun dan kini tinggal di Bekasi. Gemar menulis cerpen maupun puisi.
Karya-karya puisinya termuat di berbagai media baik daring maupun cetak.
Juga tergabung dalam beberapa antologi bersama.
Email: [email protected]