Perusahaan seharusnya menilai hasil kerja, keuletan, dan tanggung jawab pekerjanya. Bukan menilai dari satu sisi yang berakibat buruk bagi perempuan. Sistem penjadwalan dalam pembagian masa libur dan shift dibagi secara adil dan memberikan kelonggaran untuk menukar waktu dan uang semestinya menjadi tantangan manajemen.
Sebetulnya negara memiliki undang-undang yang berupaya mengikis diskriminasi berbasis gender. Namun, dalam praktiknya, perempuan terus mengalami diskriminasi. Misalnya, masih ditemukan penggolongan status ‘hamil’ atau ‘melahirkan’ dalam bursa kerja. Banyak perempuan sulit mendapatkan pekerjaan karena itu, sementara kemampuannya sama sekali tidak dinilai.
Lebih buruknya, tak jarang mereka harus menandatangani kontrak di mana mereka berjanji untuk tidak hamil atau menikah selama jangka waktu tertentu. Bagi yang melanggar kontrak, terancam dipecat bahkan membayar pinalti.
Dalam Konvensi Perlindungan Maternitas, 2000 (No. 183) tentang proteksi pekerjaan selama masa kehamilan melarang pemecatan perempuan selama masa kehamilan, masa cuti melahirkan, atau periode ketika akan kembali bekerja, kecuali dengan alasan yang tidak terkait dengan kehamilan, melairkan, atau menyusui.
Selain itu, perempuan yang kembali bekerja setelah cuti harus mendapatkan posisinya kembali atau posisi lain yang setara dan memperoleh tingkat upah yang sama.
Di Indonesia, Peraturan Menteri No. PER/03/MEN/1989 terkait dengan pemutusan hubungan kerja melarang pemecatan atau “pasangan yang menikah” sehubungan kehamilan atau melahirkan.
Terlebih, Komunisi Ahli Penerapan Konvensi dan Rekomendasi ILO (CEACR) telah mendesak pemerintah agar memperbaiki peraturan itu untuk dapat mencakup semua perempuan terlepas dari status perkawinan mereka. Walaupun begitu, diskriminasi masih terus terjadi hingga sekarang. []