Scroll untuk baca artikel
Blog

Perempuan Hamil Masih Alami Diskriminasi di Tempat Kerja

Redaksi
×

Perempuan Hamil Masih Alami Diskriminasi di Tempat Kerja

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COSebagian orang mengidamkan dapat bekerja dan mengurus keluarga secara beriringan. Namun, saat melamar pekerjaan, tak jarang akan ditanyakan: apakah Anda memiliki anak? Apakah Anda berencana memiliki anak dalam waktu dekat?

Pertanyaan yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pekerjaan itu sering dilontarkan kepada pelamar pekerjaan, khususnya perempuan. Padahal, ada sekian daftar pertanyaan wawancara yang lebih relevan seperti misalnya pengalaman kerja, kredensial, pendidikan, pilihan karir dan lainnya yang kelak akan berdampak bagi perusahaan.

Harvard Business Review, dalam sebuah artikelnya menemukan; peluang perempuan yang memiliki anak mendapatkan pekerjaan hanya 21%, sementara kemungkinan perempuan tanpa anak mendapatkan promosi adalah 50%. Temuan ini menguatkan pendapat bahwa ada diskriminasi terhadap perempuan bahkan sejak ia belum diterima bekerja.

Pertanyaan-pertanyaan menjurus diskriminatif itu bukan tanpa akibat. Paling banyak itu menyuburkan asumsi bahwa tanggung jawab pengasuhan anak merupakan beban satu gender saja. Dan pada gilirannya, hal itu juga berdampak kepada kesenjangan pendapatan berbasis gender.

Di Indonesia, menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak, pekerja perempuan rata-rata menerima sekitar 80% dari upah yang diterima pekerja laki-laki. Selain itu, masih banyaknya pelanggaran yang ditemukan tentang hak pekerja perempuan seperti hak cuti haid yang dipersulit, tidak adanya hak untuk memberi ASI, dipecat karena hamil, dan lain sebagainya.

Perempuan tak jarang dipaksa untuk mengundurkan diri setelah mencapai posisi tertentu ketika hamil atau bahkan dipecat karena alasan yang berhubungan dengan kehamilan, menyusui, atau mengasuh anak.

Terkadang perempuan yang mengalami diskriminasi tersebut lebih memilih bungkam karena enggan membuat panjang sebuah perkara atau menganggapnya adalah sebuah kewajaran.

Perempuan Rentan Mengalami Diskriminasi

Ketika perempuan diremehkan karena sedang hamil, penulis dan penggagas komunitas Feminist Fight Club, Jessica Benett menyarankan agar mereka dapat menggunakan data dan statistik untuk menyerang balik, misalnya dengan mengatakan riset menunjukkan bahwa seorang ibu dapat mengerjakan sesuatu dengan lebih cepat dan efisien dibandingkan orang-orang tanpa anak.

Terkadang, ada keluhan bahwa ibu yang bekerja memperoleh perlakuan khusus, seperti mereka memperoleh waktu senggang untuk dapat mengurus anak mereka atau menyusui. Itu adalah bagian dari kebencian dan bisa menjadi manajemen yang buruk bagi perusahaan.

Pengasuhan bukan satu-satunya alasan orang membutuhkan waktu untuk diri sendiri karena setiap orang memiliki tujuan dan impian lainnya di luar pekerjaan. Namun tempat kerja yang buruk sering kali mengancam perempuan untuk memilih antara keluarga atau pekerjaan. Itu adalah momen yang amat buruk.

Perusahaan seharusnya menilai hasil kerja, keuletan, dan tanggung jawab pekerjanya. Bukan menilai dari satu sisi yang berakibat buruk bagi perempuan. Sistem penjadwalan dalam pembagian masa libur dan shift dibagi secara adil dan memberikan kelonggaran untuk menukar waktu dan uang semestinya menjadi tantangan manajemen.

Sebetulnya negara memiliki undang-undang yang berupaya mengikis diskriminasi berbasis gender. Namun, dalam praktiknya, perempuan terus mengalami diskriminasi. Misalnya, masih ditemukan penggolongan status ‘hamil’ atau ‘melahirkan’ dalam bursa kerja. Banyak perempuan sulit mendapatkan pekerjaan karena itu, sementara kemampuannya sama sekali tidak dinilai.

Lebih buruknya, tak jarang mereka harus menandatangani kontrak di mana mereka berjanji untuk tidak hamil atau menikah selama jangka waktu tertentu. Bagi yang melanggar kontrak, terancam dipecat bahkan membayar pinalti.