“Saya 100 persen mendukung, tolong diperhatikan, untuk mulai memastikan minimal satu pembicara perempuan,”Ilham Akbar Habibie (Ketua Dewan Penasehat Forum Diskusi Nasional)
SERING kali, kita melihat acara diskusi yang pembicaranya penuh dengan laki-laki. Hal itu tentu saja menunjukkan perempuan masih cenderung kurang dilibatkan dalam menghadapi tantangan di masa mendatang.
Entah diskusi itu membahas tentang ekononomi, kebijakan, kesehatan, atau yang lainnya, namun perlu diketahui bahwa saat ini, banyak perempuan yang sudah layak untuk dihadirkan dan memiliki kompetentesi untuk terlibat pada acara-acara diskusi yang ada. Bahkan, tahun lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti panel yang dipenuhi oleh laki-laki yang disebut dengan istilah manel. PBB menyebut manel harus dihentikan.
Tim PBB di Indonesia berjanji untuk tidak berpartisipasi sebagai angota pembicara/panel dalam setiap pertemuan publik, konferensi, atau webinar di acara yang tidak adanya perempuan di panel mana pun.
Manel menjadi manifaste dari seksisme dan eksklusi yang memperkuat stereotip gender bahwasanya laki-laki memilki otoritas atau keahlian lebih tinggi. Seolah-olah, perempuan tidak mampu berkontribusi dalam diskusi. Alasan umum yang sering terjadi ialah panelis perempuan sedikit lebih sulit ditemukan sehingga penyelenggara panel harus lebih berusaha keras untuk menemukannya.
Terlebih, ketika isu yang dibicarakan langsung menyangkut perempuan seperti hak seksual dan reproduksi, manel berubah menjadi penyimpangan. Terkadang, ikrar tanpa manel ditafsirkan sebagai pemogokan terhadap laki-laki. Padahal, sebenarnya, tujuannya sangat jelas, panel tanpa perempuan merugikan dunia kesetaraan, kebebasan, dan perdamaian yang ingin dibangun dan diperlukan.
Tanggapan FDN Soal Manel
Di suatu pagi, tim Barisanco berkesempatan untuk menyinggung masalah manel di hadapan Ketua Dewan Penasehat Forum Diskusi Dialog Nusantara (FDN), Ilham Akbar Habibie, yang kebetulan saat itu, beliau ditemani oleh Direktur Eksekutif FDN, Justino Djogo. Bukan tanpa alasan, sebab beberapa kali, kami mendapati flyer acara webinar yang diselenggarakan oleh FDN dipenuhi oleh kaum adam.
Melihat flyer acara itu membuat saya khususnya agak jengkel karena untuk mencapai kesetaraan, kita perlu memulainya dari sekarang. Jika tidak, belenggu patriarki terus akan menghantui peran perempuan.
Saat disinggung persoalan manel, Ilham mengatakan, dia mendukung 100 persen pernyataan kami dan meminta agar ke depannya agar panitia FDN lebih memperhatikan hal tersebut serta memastikan harus ada kuota minimal satu pembicara perempuan, kalau bisa lebih.
“Gak boleh lagi ada FDN tanpa adanya perempuan. Saya seratus persen mendukung itu. Dan memang di lain pihak kenapa sih harus ada kuota, kenapa ga secara alamiah saja? Tapi, kalau menurut saya, kita sesuaikan dengan kemampuan, tapi keadaan kalau kita menginkan yang lebih setara harus agak digit, didorong kalau tidak, tidak akan kejadian,” kata Ilham kepada Barisanco.
Ilham menegaskan pernyataan itu tidak sama sekali dimaksudkan untuk menganggap tidak cukupnya pakar atau pembicara perempuan melainkan perlu disesuaikan dengan materi dan tema yang diangkat, jika memang lebih dari satu pembicara perempuan, justru itu lebih bagus.
“Oke, ini keputusan, FDN tiap kali acara harus ada minimal satu perempuan. Tapi benar, terima kasih, itu bagus sekali. Itu benar, sangat valid,” tegas Ilham.
Sedangkan, Justino menyebut di draft acara sebenarnya selalu ada pembicara perempuan. Dia menambahkan dari lima hingga enam kali webinar, baru dua kali pembicara perempuan yang hadir. Namun begitu, saat draft awal undangan, perempuan selalu ada.
“Ya, semuanya berhalangan, akhirnya sigap cepat mencari pengganti dapatnya laki-laki,” ucap pria asal Kupang tersebut.