Menurut Luh Ayu Saraswati, munculnya fenomena pemutih kulit disebabkan oleh dua hal, yaitu:
1) Terjajahnya ruang emosi berdasarkan gender
Penjajahan emosi sendiri terjadi ketika pemilik kekuasaan menekankan serta mendidik masyarakat untuk memiliki suatu perasaan tertentu. Dalam hal ini, penguasa tersebut menanamkan gagasan jika pemilik kulit gelap harus malu. Hal itu terlebih bagi perempuan.
2) Gagalnya pembentukan wacana kecantikan Indonesia pasca kolonial
Ketika Indonesia merdeka, salah satu nilai atau wacana baru yang dibentuk pasca kolonial ialah wacana kecantikan. Wacana kecantikan Indonesia yang terbentuk kala itu tentu berbau nasionalisme. Namun, ketika proses wacana kecantikan tersebut dilakukan, kemerdekaan emosi belum mengakar sepenuhnya. Sehingga nilai-nilai baru yang muncul masih mengacu pada nilai bangsa Barat.
Beragamnya tayangan produk pemutih membuktikan gagalnya pembentukan wacana kecantikan Indonesia. Cara yang dilakukan oleh banyak iklan pemutih tergolong eufemisme karena bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dapat dipilih secara tidak sadar.
Namun standar kecantikan perempuan di Indonesia seakan melihat bahwa yang cantik adalah yang putih. Perempuan berkulit gelap pun mencoba untuk menggunakan krim pemutih agar bisa sesuai dengan standar tersebut. Intimidasi yang dilakukan oleh tayangan sebuah iklan tak ayal membuat perempuan berkulit gelap menjadi rendah diri.
Untuk terbebas dari belenggu kekerasan simbolik tersebut yang harus dilakukan adalah memerdekakan ruang emosi dan berhenti menjadi alat penjajahan terhadap orang lain.
Dampak kekerasan simbolik itu halus, tak terasa tak dapat dilihat secara kasat mata bahkan oleh korbannya. Bentuk dari kekerasan simbolik juga hampir tidak menjadi inti perhatian dari berbagai pihak.
Jika diamati secara cermat dan mendalam, bentuk kekerasan simbolik dapat memberikan pengaruh cukup besar terutama bagi masyarakat secara keseluruhan. Kita jelas perlu, dengan cara apapun, menghentikan bentuk keterjajahan yang sedang terjadi ini. []