Oleh: Anatasia Wahyudi
Bukan rahasia bahwa kebanyakan perempuan Indonesia punya impian muluk untuk memiliki kulit putih mengkilap-kilap. Lihat saja bagaimana produk kecantikan yang ada di iklan-iklan, hampir pasti termuat tendensi sedemikian: putih, cerah, bercahaya.
Dari mana datangnya keinginan ini. Kenapa ‘putih’ berkonotasi cantik, sementara ‘sawo matang’ bahkan tidak mendapat tempat dalam kesadaran perempuan Indonesia?
Boleh jadi idealisasi kulit putih ini berkat rendah dirinya perempuan Indonesia di hadapan wangsa kolonial yang datang ke nusantara. Walaupun ada juga yang mengatakan idealisasi kulit putih telah terjadi sebelum penjajah datang, namun, tetap bahwa kedatangan koloni adalah faktor yang kuat mendorong idealisasi tersebut.
Penjajah datang dan mengubah banyak tatanan. Lewat pendekatan kekuasaan, bangsa Barat sedemikian rupa meletakkan dirinya sebagai ras unggul di nusantara. Sedangkan pribumi adalah warga kelas ketiga.
Segregasi kelas sosial semacam itu kemudian berkembang menjadi warnaisasi. Karena orang Barat (yang punya modalitas kulit putih) menguasai hampir semua hal, maka orang pribumi menjadi kecil di hadapan mereka, sampai ke kulit-kulitnya yang sawo matang itu.
Dapat disimpulkan, modalitas simbolik ‘kulit putih’ menciptakan kekuasaan simbolik, dan kekuasaan simbolik melahirkan banyak sekali bentuk kekerasan simbolik. Bourdieu merekam dengan jelas soal kekerasan simbolik ini dalam teori-teorinya.
Menurut Bourdieu, modal simbolik ialah media yang mengantarkan relasi antara kekuasaan dan kekerasan. Ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya yang ditujukan kepada pihak lain yang memiliki kekuasaan yang lemah, maka pihak lain tersebut akan berusaha mengubah tindakan-tindakannya. Hal ini menunjukkan adanya hubungan dari kekerasan simbolik melalui peran modal simbolik.
Produk dengan embel-embel memutihkan wajah atau kulit merupakan salah satu bentuk kekerasan simbolik berupa diskriminasi. Hal ini dikarenakan menciptakan stigma terhadap perempuan yang memiliki warna kulit tidak putih.
Selain itu juga iklan-iklan di media juga merupakan pembohongan publik karena warna kulit itu tergantung dari faktor keturunan, dan lainnya. Kiranya habis berbotol-botol produk whitening pun tidak akan memengaruhi faktor yang demikian kuat ini.
Kekerasan yang diciptakan oleh tayangan iklan juga melanggengkan perempuan berwarna kulit putih berkuasa atas perempuan berwarna kulit gelap. Jika dilihat, hampir seluruh iklan yang ada di Indonesia menggunakan model perempuan dengan warna kulit putih.
Menurut Luh Ayu Saraswati, munculnya fenomena pemutih kulit disebabkan oleh dua hal, yaitu:
1) Terjajahnya ruang emosi berdasarkan gender
Penjajahan emosi sendiri terjadi ketika pemilik kekuasaan menekankan serta mendidik masyarakat untuk memiliki suatu perasaan tertentu. Dalam hal ini, penguasa tersebut menanamkan gagasan jika pemilik kulit gelap harus malu. Hal itu terlebih bagi perempuan.
2) Gagalnya pembentukan wacana kecantikan Indonesia pasca kolonial
Ketika Indonesia merdeka, salah satu nilai atau wacana baru yang dibentuk pasca kolonial ialah wacana kecantikan. Wacana kecantikan Indonesia yang terbentuk kala itu tentu berbau nasionalisme. Namun, ketika proses wacana kecantikan tersebut dilakukan, kemerdekaan emosi belum mengakar sepenuhnya. Sehingga nilai-nilai baru yang muncul masih mengacu pada nilai bangsa Barat.
Beragamnya tayangan produk pemutih membuktikan gagalnya pembentukan wacana kecantikan Indonesia. Cara yang dilakukan oleh banyak iklan pemutih tergolong eufemisme karena bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dapat dipilih secara tidak sadar.
Namun standar kecantikan perempuan di Indonesia seakan melihat bahwa yang cantik adalah yang putih. Perempuan berkulit gelap pun mencoba untuk menggunakan krim pemutih agar bisa sesuai dengan standar tersebut. Intimidasi yang dilakukan oleh tayangan sebuah iklan tak ayal membuat perempuan berkulit gelap menjadi rendah diri.
Untuk terbebas dari belenggu kekerasan simbolik tersebut yang harus dilakukan adalah memerdekakan ruang emosi dan berhenti menjadi alat penjajahan terhadap orang lain.
Dampak kekerasan simbolik itu halus, tak terasa tak dapat dilihat secara kasat mata bahkan oleh korbannya. Bentuk dari kekerasan simbolik juga hampir tidak menjadi inti perhatian dari berbagai pihak.
Jika diamati secara cermat dan mendalam, bentuk kekerasan simbolik dapat memberikan pengaruh cukup besar terutama bagi masyarakat secara keseluruhan. Kita jelas perlu, dengan cara apapun, menghentikan bentuk keterjajahan yang sedang terjadi ini. []
Anatasia Wahyudi, Staf Barisanco.
Diskusi tentang post ini