Scroll untuk baca artikel
Terkini

Perkebunan Kelapa Sawit Rentan Eksploitasi Pekerja Anak

Redaksi
×

Perkebunan Kelapa Sawit Rentan Eksploitasi Pekerja Anak

Sebarkan artikel ini

Di Indonesia, tandan dipanen oleh pekerja dewasa dan anak-anak, yang mengalami kondisi kerja eksploitatif.

BARISAN.CO – Lima puluh juta orang hidup dalam perbudakan modern pada tahun 2021, menurut Global Estimates of Modern Slavery. Dari jumlah tersebut, 28 juta berada dalam kerja paksa dan 22 juta lainnya terjebak dalam pernikahan paksa.

Sementara, jumlah pekerja anak diperkirakan berjumlah 3,3 juta jiwa. Sebanyak 1,7 anak terperangkap dalam ekploitasi seksual komersial, sedangkan 1,3 juta anak atau 39 persen dari jumlah itu berada dalam eksploitasi kerja paksa.

Sisanya, 10 persen lainnya atau 0,32 juta anak-anak dalam kerja paksa yang dipaksakan oleh negara.

Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat menerbitkan laporan 2022 List of Goods Produced by Child Labor or Forced Labor sesuai dengan Undang-Undang Otorisasi Ulang Perlindungan Korban Perdagangan (TVPRA), yang mengungkapkan terdapat pekerja anak di Indonesia.

Laporan itu dibuat untuk memastikan produk yang dibuat baik dari pekerja paksa dan pekerja anak yang melanggar standar internasional tidak diimpor ke AS. Dari laporan itu, daftar barang menurut TVPRA yang dihasilkan oleh pekerja anak di tanah air ialah minyak sawit.

Minyak sawit adalah salah satu bahan yang paling umum digunakan dalam barang-barang konsumen. Kita dapat menemukannya mulai dari sabun hingga kosmetik, bahkan makanan yang dipanggang.

Memiliki kandungan lemak jenuhnya yang rendah dan sifatnya yang melembabkan, minyak sawit dipuji karena manfaatnya.

Di Indonesia, tandan dipanen oleh pekerja dewasa dan anak-anak, yang mengalami kondisi kerja eksploitatif. Target harian pemanen yang curam tidak dapat dicapai dalam hari kerja standar, sehingga memaksa mereka bekerja berjam-jam tanpa upah lembur atau dikenakan potongan gaji yang tinggi.

Menghadapi target harian yang berlebihan dari majikannya untuk memanen buah sawit, keluarga terpaksa melibatkan anak-anak dalam tugas berat, seperti memungut tandan buah dan mencabuti rumput liar, yang membuat mereka tidak bersekolah.

Para pekerja juga terpapar bahan kimia beracun tanpa alat pelindung diri (APD), dan beberapa orang mengalami kekerasan fisik atau seksual.

Ditambah, beberapa pekerja perkebunan sawit adalah para pendatang yang terjebak jeratan utang dan tidak bisa meninggalkan majikannya.

Setelah keluar dari perkebunan di Indonesia, buah sawit selanjutnya diangkut ke pabrik dan diolah menjadi minyak sawit mentah dan minyak inti sawit.

Minyak ini kemudian, diolah menjadi produk turunan, seperti minyak sawit olahan, minyak inti sawit olahan, dan oleokimia (bahan yang biasanya digunakan untuk kosmetik).

Laporan US ITC Dataweb dan UN Contrade menjelaskan, impor China dari Indonesia senilai US$2,4 miliar minyak sawit olahan dan US$396 juta minyak inti sawit olahan. Sedangkan, AS mengimpor dari Indonesia senilai US610 juta minyak sawit olahan dan US$229 juta minyak inti sawit olahan.

Rantai pasokan minyak sawit menyampaikan, pembeli dan bisnis Amerika dari produk yang mengandung minyak sawit dari Indonesia dapat tercemar oleh pekerja anak dan kerja paksa.

Anak-anak harusnya bersekolah, bukan bekerja. Tidak boleh, seorang anak pun kehilangan masa kanak-kanak, keselamatan, kesehatan, dan pendidikannya.

Memberantas pekerja anak harus menjadi tanggung jawab moral bersama bagi masyarakat sipil, bisnis, dan pemerintah. Dengan begitu, kita semua dapat berkontribusi memutus rantai pekerja anak di bawah umur.