Scroll untuk baca artikel
Blog

Perlunya Kesetaraan Gender dalam Lingkup Panel Diskusi Virtual

Redaksi
×

Perlunya Kesetaraan Gender dalam Lingkup Panel Diskusi Virtual

Sebarkan artikel ini

Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan menjadi salah satu moderator dalam acara diskusi virtual. Setelah melihat flyer acara muncul perasaan kecewa karena melihat kenyataan bahwa acara didominasi oleh kaum laki-laki. Meski kecewa, namun acara harus tetap berjalan seperti semestinya.

Dibalik suara kesetaraan gender yang menyeruak, nyatanya dalam acara panel diskusi masih sering ditemukan mayaoritas diisi oleh laki-laki. Bukan karena ketidakmampuan perempuan untuk berbicara, namun kesempatan yang terkadang tidak diberikan kepada mereka.

Dikutip dari We Forum, para peneliti menemukan jika perempuan dipandang sebagai kelompok paling tidak kompeten dan berpengaruh. Selain itu, masalah sistemik dari masyarakat yang sering memandang norma budaya dan pesan gender membentuk aturan keterlibatannya.

Jessica Preece, profesor dalam ilmu politik di Brigham Young University (BYU) mengatakan. jika selama bertahun-tahun keahlian dan perspektif perempuan secara perlahan diabaikan. Namun begitu, bukan perempuan yang hancur melainkan masyarakat yang menjadi rusak.

“Saya ingin melihat fokus pada pelatihan orang untuk menjadi serta menciptakan sistem yang mendukung perempuan berani bicara,” kata Preece.

Menurut Preece, hal itu ditujukan untuk perlunya mengubah lingkungan dalam ruangan, aktual maupun virtual dibanding perempuan itu sendiri agar dapat diberdayakan dan didengar.

Selain itu, Laporan World Economic Forum’s Global Gender Gap 2020 menyebut kesetaraan gender sangat penting karena dapat mempengaruhi perekonomian. Ditambah laporan Power of Parity tahun 2015 dari McKinsey Global Institute memperkirakan jika memajukan kesetaraan perempuan dapat menambah US$13 Triliaun pertubuhan global di tahun 2025.

Preece melanjutkan jika suara perempuan ingin dihargai dan didengar, mereka harus angkat bicara tanpa diminta.

Sebuah studi Universitas George Washington juga menemukan jika 33 persen laki-laki lebih cenderung menginterupsi perempuan dibanding kepada rekan laki-laki lainnya. Bahkan, penelitian Northwestern Pritzker School of Law menyebut jika pola laki-laki menginterupsi perempuan terjadi di Mahkamah Agung.

Ketidaksetaraan diskusi paneel juga disorot oleh Koordinator Residen PBB di Indonesia, Valerie Julliand pada akhir Mei lalu yang menyampaikan jika diskusi yang secara ekslusif dari laki-laki atau manel perlu dihentikan.

Alasan umum yang sering dikemukakan ialah sulitnya menemukan panelis perempuan. Namun, tidak ada alasan untuk meninggalkan perempuan dari diskusi apapun dan begitu banyaknya alasan untuk memasukkannya karena mereka membawa perspektif lain dan mengajukan pertanyaan serta masalah yang mungkin tidak pernah menjadi pertimbangan laki-laki.

Suistanable Development Goal 5 berisi seruan pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan semua perempuan serta anak perempuan. Bukan hanya sebagai hak asasi manusia, kesetaraan gender juga menjadi fondasi yang diperlukan bagi dunia yang damai, sejahtera, dan berkelanjutan. [rif]