Scroll untuk baca artikel
Blog

Pernah pada Masanya Ulama Berkolaborasi dengan PKI

Redaksi
×

Pernah pada Masanya Ulama Berkolaborasi dengan PKI

Sebarkan artikel ini

Bahkan, Lenin dan pejuang Bolshevik digambarkan sebagai para pembela Islam dan sebagai pendiri negara yang adil makmur yang diridai Allah.

Propaganda PKI ternyata tidak sia-sia. Ulama Banten yang cukup disegani seperti mantan Ketua SI Labuan Kiai Achmad Chatib, Kiai Alipan, dan Tubagus Hilman secara meyakinkan bergabung dengan PKI. Secara otomatis masuknya para kiai yang rata-rata memiliki pesantren ini juga disertai para santrinya. 

Dalam perkembangan selanjutnya, masuknya ulama karismatis membuat dukungan masyarakat Banten kepada PKI sangat masif. Anggota PKI yang sebelumnya terkonsentrasi di Serang belakangan menyebar ke Pandeglang dan Kabupaten Lebak. 

Kelompok selain ulama yang direkrut PKI adalah para jawara atau bandit lokal. Para jawara ini menguasai pasar-pasar dan tempat pelelangan. Para jawara ini mampu memberikan perlindungan kepada seluruh wilayah perdesaan karena mereka dibekali keterampilan bela diri dan mahir memainkan golok serta parang. 

Para jawara juga aktif berperan dalam merekrut anggota PKI dari kalangan buruh di Batavia dan Sumatera. Keberanian dan kenekatan para jawara juga belakangan dimanfaatkan PKI dalam pemberontakan 1926. 

Kendati, pada akhirnya pemberontakan itu gagal dan berujung pada penangkapan para ulama dan anggota PKI lainnya. Mereka ada yang dihukum mati, dipenjara, dan dibuang ke Boven Digul.

Kisah ini terekam dalam buku Michael C. Williams berjudul “Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten” (2003).

Kisah dalam buku ini relevan dengan peristiwa masa kini dan sangat kompatibel untuk membedah dan menelanjangi kasus-kasus aktual seperti terorisme yang melanda dunia dan Indonesia.

Inti permasalahan sebenarnya adalah diskriminasi dan ketidakadilan. Bila marginalisasi sudah terakumulasi, pihak yang tertindas ini akan melakukan berbagai cara, termasuk bersekutu dengan kelompok yang berlainan ideologi. 

Bahkan, secara ekstrem, bersekutu dengan setan pun jadi. Kasus terorisme dan radikalisme bila dilihat dari buku ini sebenarnya lahir karena adanya dominasi yang abadi dari sebuah negara, pemerintahan atau rezim. 

Misalnya, Amerika yang begitu digdaya sebagai negara adikuasa sangat diskriminatif dan menerapkan kebijakan politik luar negeri standar ganda dalam menyikapi persoalan yang berkaitan antara negara-negara Islam dan Israel. 

Amerika selalu memihak Israel dan menjadi sekutu sejatinya di Timur Tengah. Diskriminasi inilah yang kemudian melahirkan terorisme yang berakhir dengan pengrusakan instalasi yang berbau Barat atau Amerika di mana pun letaknya.

Dan kasus yang sama juga bisa saja juga menimpa China. Membanjirnya tenaga kerja asing terutama dari China dalam proyek-proyek strategis nasional dianggap sebagian kalangan juga bentuk ketidakadilan pemerintah kepada rakyatnya.

Rakyat sendiri banyak yang nganggur sementara TKA China terus berdatangan merambah pekerjaan yang bisa dilakukan pekerja domestik.

Segera baca kembali dan renungkan makna buku ini wahai para pengambil kebijakan, sebelum peristiwa buruk merusak negeri ini.

Tidak cukup hanya kerja…kerja…kerja…. Tapi elite negeri ini juga perlu baca…baca…baca….