Tersebutlah bangsa binatang dari pelbagai jenis merasa diperas. Mereka hanya digiring-giring, ditendang bokongnya, dibetot lehernya, dijambak bulu kuduknya, dan digebuk supaya bekerja keras buat kepentingan manusia)
Nah, berbeda dengan sistem monarki absolut, yang menjadi jiwa zaman Al Ghazali ketika menulis kitab al-Tibr al-Masbuk, kualitas personalItas adalah utama. Demokrasi berlaku sebaliknya, yang terpenting bukanlah person, melainkan sistem. Sebagaimana kita mafhum, pemilu tidak melahirkan pemimpin yang terbaik, tetapi untuk mencegah kemungkinan naik pemimpin lalim.
Demokrasi adalah sistem untuk menyaring pemimpin. Jadi, sekali lagi yang berlaku adalah kualitas sistem. Lantas, apa relevansinya menyuntuki kitab al-Tibr al-Masbuk? Toh kini yang berlaku sistem, bukan kualitas pribadi. Gus Ulil, dengan tegas mengatakan: “Masih relevan”.
Semula, terus terang saya kurang “ngeh” dengan penandasan Gus Ulil. Namun, setelah saya renung-renung, terutama saat perjalanan dari Ngalian menuju Ungaran, pukul sepuluhan malam, saya merasa sreg.
Bukankah kini, orang-orang Barat sendiri pun mulai menggandrungi hal-hal yang berkebalikan dengan semangat modern, termasuk demokrasi. Mereka menyangkal modernisme. Mereka melirik kedalaman manusia, dan kebudayaan Timur seperti Tao, Budhis, atau Zen. Teknologi yang dulu dianggap rahmat, kemudian digugat sebagai perusak alam.
Plastik tempat makanan siap saji dan bungkus segala barang bawaan, kini tertuding sebagai perusak lingkungan. Sekarang ini marak gerakan back to nature, kembali ke alam. Bukan lagi “alam sebagai subjek”, atau “alam sebagai objek”, tetapi sintesa “alam sebagai subjek-objek”.
Lantas, saya tebersit dengan rumusan sintesa itu: kualitas sistem dan personal sekaligus. Bagaimana? Saya tak tahu bagaimana corak itu. Ya, biar Gus Ulil yang merumuskannya. Namun demikian, sungguh saat itu saya merasa teberkati oleh kehadiran Gus Ulil Abshar Abdalla, dan pula Ning Ienas Tsuroiya.
Maka al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk masih relevan. Bahkan sangat relevan.