Sektor-sektor berbasis jasa juga memperlihatkan kinerja positif. Pertumbuhan tinggi tercatat pada jasa perusahaan (9,94 persen), informasi dan komunikasi (9,65 persen), serta akomodasi dan makanan minuman (8,41 persen).
Dari sisi pengeluaran, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi tumbuh 5,04 persen (yoy). Angka ini tergolong stabil, meskipun masih di bawah capaian 2023 dan 2024. Namun, Awalil menilai komponen mesin dan perlengkapan yang tumbuh hingga 17 persen perlu dicermati karena belum jelas kapan penghitungan dilakukan—apakah saat pembelian, pengiriman, atau mulai berproduksi.
Sementara itu, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,89 persen, menjadi pertumbuhan triwulan III terendah sejak 2011 (di luar masa pandemi). Kondisi ini disebut menandakan penurunan daya beli masyarakat.
“Survei konsumen Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan sama-sama menunjukkan penurunan keyakinan masyarakat terhadap kondisi ekonomi,” tulisnya.
Sebaliknya, konsumsi pemerintah justru tumbuh tinggi 5,49 persen, tertinggi dalam lima tahun terakhir, di tengah narasi efisiensi anggaran. Awalil memperkirakan konsumsi pemerintah bisa tumbuh lebih dari 6 persen sepanjang 2025.

Kritik atas Validitas Data
Menurut Awalil, angka pertumbuhan ekonomi triwulan III yang dirilis BPS terkesan melampaui prediksi banyak pihak, terutama karena kontribusi besar datang dari sektor-sektor jasa yang lebih sulit diverifikasi datanya secara riil.
“Rincian sektoral dan komponen Produk Domestik Bruto (PDB) tampak kurang meyakinkan. Beberapa sektor tumbuh terlalu tinggi tanpa dukungan indikator lapangan yang sepadan,” tulisnya.
Ia juga menyoroti bahwa perhitungan pada subkomponen investasi dan industri pengolahan bisa saja “terlalu mempercantik” data pertumbuhan. “Jika tren overestimate ini berlanjut, angka pertumbuhan setahun bisa saja mencapai 5,05 persen. Namun, efeknya bisa menekan pertumbuhan tahun-tahun berikutnya,” imbuhnya.
Melihat pola pertumbuhan hingga triwulan III, Awalil memperkirakan laju ekonomi nasional sepanjang 2025 hanya akan berada di kisaran 4,9–5,0 persen. Tantangan utama masih datang dari lemahnya konsumsi rumah tangga, stagnasi investasi sektor riil, serta perlambatan produktivitas industri.
Meski demikian, ia menilai penting bagi pemerintah untuk menjaga kredibilitas data ekonomi agar analisis kebijakan publik tidak kehilangan arah.
“Pertumbuhan ekonomi tidak hanya soal angka tinggi di atas kertas, tapi bagaimana ia mencerminkan kesejahteraan masyarakat secara nyata,” tegasnya.









