BARISAN.CO – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyebut sengkarut tidak lolosnya 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Tes Wawasan Kebangsaan telah mencitrakan gelagat regresi penegakan hukum. Bukan hanya itu, kisruh ini juga secara telak memukul demokrasi dan proses pembangunan ekonomi Indonesia.
Ketua Departemen Ekonomi & Pembangunan, Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Investasi DPP PKS Farouk Abdullah Alwyni mengatakan, KPK patut diperhatikan serius lantaran eksistensinya menyangkut seluruh aspek aspiratif publik, terutama soal tata kelola negara yang bebas dari pencoleng ekonomi.
“KPK adalah spiral dari reformasi. Ia lahir dan dianggap sebagai langkah konkret untuk tidak mengulang praktik KKN yang subur di masa Orde Baru. Bisa diartikan bahwa kehadiran KPK sejalan dengan demokrasi kita. Jika KPK dilemahkan, dengan sendirinya demokrasi kita bergerak mundur dan tentu akan banyak masalah yang berpotensi muncul,” kata Farouk Alwyni dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/6/2021).
Masalah-masalah tersebut, kata dia, terutama dapat dikonfirmasi dari laporan terbaru Transparency International, di mana Indeks Persepsi Korupsi Indonesia melorot menjadi 37 poin pada tahun 2020 dibanding 40 poin di tahun sebelumnya.
Pada laporan lembaga yang sama, didapati pula adanya problem administrasi yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat suap layanan publik mencapai 30 persen, atau tertinggi ketiga di Asia setelah Kamboja dan India.
Sementara dalam koridor politik, tingkat politik uang (vote buying) pemilu juga sangat tinggi yakni sebesar 26 persen. Hampir dua kali lipat rata-rata Asia yaitu 14 persen.
“Indeks-indeks ini penting diperhatikan. Bagaimanapun, telah menjadi sebuah norma bagi lembaga internasional bahwa korupsi adalah satu tantangan kritis bagi pembangunan di negara-negara berkembang,” kata Farouk.
Maka PKS menilai patut disayangkan jika KPK yang merupakan jawaban dari persoalan tersebut justru dilemahkan oleh kekuatan gelap status quo yang ingin melanggengkan korupsi di Indonesia. Apalagi, pegawai-pegawai yang disingkirkan oleh TWK ini merupakan orang-orang terbaik di bidangnya.
Dari 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat dari hasil TWK, di antaranya untuk disebutkan ialah: Rizka Anungnata dan Novel Baswedan (memproses kasus korupsi Harun Masiku); Andre Dedi Nainggolan dan Praswad Nugraha (kasus bansos COVID-19); Harun Al Rasyid dan Marc Falentino (kasus Nurdin Abdullah); serta Budi Sukmo Wibowo dan Afief Yulian Miftach (kasus rekening gendut Budi Gunawan).
“Ada kesan kuat bahwa TWK hanya menjadi instrumen politik untuk menargetkan para pegawai yang punya komitmen dan integritas pemberantasan korupsi yang tinggi,” kata lulusan New York University ini.
Dalam hal itu, Farouk juga mengatakan perlu ada upaya menyigi dampak-dampak dari TWK secara lebih mendalam. Tes tersebut mengandung sekian kontroversi mengingat banyak pertanyaan yang tidak relevan dengan konsep wawasan kebangsaan itu sendiri.
Tes TWK yang disponsori Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kemenpan-RB ini bahkan mempertanyakan soal-soal yang sensitif yang menyangkut keyakinan agama seseorang, di mana itu sebetulnya telah diatur dalam Pasal 29 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945.
“Jadi tes TWK selain cacat secara moral dan etik, juga melanggar undang-undang dasar yang mengatur kebebasan beragama,” kata Farouk.
“TWK juga telah memunculkan buntut amat beragam, mulai dari adanya narasi radikalisme dan cap taliban, sampai terbukanya ruang perdebatan terkait kesetiaan para pegawai terhadap bangsa. Meski tuduhan-tuduhan itu pada akhirnya tak terbukti, tapi telanjur mencoreng nama baik para pegawai KPK,” lanjutnya.