Scroll untuk baca artikel
Terkini

Polemik Film ‘Jejak Khilafah di Nusantara’, Kenapa Dihapus?

Redaksi
×

Polemik Film ‘Jejak Khilafah di Nusantara’, Kenapa Dihapus?

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Film ‘Jejak Khilafah di Nusantara’ sempat jadi perbincangan di media sosial bahkan sejak beberapa hari sebelum hari penayangan secara virtual di Youtube pada Kamis (20/8/2020), bertepatan dengan tahun baru Islam 1 Muharam. Namun film yang disiarkan di Youtube tersebut tertulis telah diblokir oleh pemerintah.

Dijadwalkan tayangkan live di kanal YouTube Khilafah Channel pada Kamis (20/8/2019) pukul 09.00 WIB. Namun hingga lebih satu jam film tersebut tidak bisa ditonton. Hal yang sama terjadi pada Channel Youtube lainnya, Ade Jawabi, yang mengunggah ulang film tersebut hingga pukul 11.48 WIB ini masih setia ditonton 998. Namun film hanya terus berputar di pembukaan.

Diinisiasi oleh sejarawan bernama Nicko Pandawa bersama Komunitas Literasi Islam JKDN, film yang disajikan dalam bentuk dokumenter ini menceritakan tentang hubungan Indonesia yang berkaitan dengan khilafah Islamiyah, terutama pada masa Khalifah Utsman.

Menurut Nicko, Khilafah Islamiyah yang dulu pernah berpusat di Turki mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Nusantara. Bahkan keeratan itu telah muncul sejak masa Khalifah Utsman. Nicko menambahkan, Khalifah Utsman mengirim utusan ke China melewati Nusantara, jejaknya bisa ditemukan di daerah Lhokseumawe, Aceh Utara, berupa pemakaman keturunan Abbasiyah.

Dikutip dari sinopsis filmnya yang beredar, pada 1404 M (808 H) Sultan Muhammad I mengirim surat kepada para pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah meminta sejumlah ulama guna diberangkatkan ke Jawa.

Selanjutnya, diberangkatkanlah para ulama dalam enam angkatan yang masing-masing terdiri dari sembilan orang. Angkatan I dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim asal Turki. Angkatan berikutnya hingga angkatan VI ditetapkan ketika ada ulama yang meninggal di angkatan sebelumnya. Kisah tersebut di kalangan masyarakat nusantara terkenal dengan sebutan Wali Songo.

Film dokumenter ini langsung melahirkan pro dan kontra. Beberapa sejarawan yang masuk nama-namanya dalam launching film tersebut, ramai-ramai mengklarifikasi.

Sebagaimana pencatutan nama Prof. Peter Carey, seorang peneliti Nusantara khususnya Jawa yang berasal dari Inggris. Melalui asistennya, Christopher Reinhart, memberikan sanggahan atas klaim-klaim dalam film tersebut.

Dalam keterangan pers yang dikutip dari Republika.co.id, Christopher menjelaskan, dirinya ingin meneruskan, atas permintaan Prof Carey, informasi lanjutan mengenai klaim adanya hubungan antara Kekhalifahan Utsmaniyah dan Kesultanan-kesultanan Islam di Jawa.

Dia menjelaskan pada 16 Agustus 2020, Prof Carey mengirimkan surat elektrononik kepada ahli sejarah hubungan Utsmaniyah–Asia Tenggara, Dr Ismail Hakki Kadi, yang dibalas pada 18 Agustus 2020 perihal klaim-klaim yang tersebut di atas. Pokok pemikirannya adalah sebagai berikut.

Pertama, tidak ada bukti pada dokumen-dokumen di Arsip Turki Utsmani yang menunjukkan bahwa ‘negara’ Islam pertama di Jawa, Kesultanan Demak (1475–1558). Utamanya raja pertamanya, Raden Patah (bertakhta, 1475–1518), memiliki kontak dengan Turki Utsmani.

Kedua, kesultanan yang ada di Pulau Jawa tidak dianggap sebagai vassal atau naungan Turki Utsmani, termasuk juga bukan wakil sultan-sultan Utsmani di Jawa.

Ketiga, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara Turki Utsmani dan Kesultanan Yogyakarta (didirikan 1749) dalam hal hierarkhi sebagaimana dimaksud di dalam poin nomor 2. Termasuk, tidak ada bukti dokumen sejarah yang menunjukkan bahwa panji ‘Tunggul Wulung’ merupakan ‘bukti’ bahwa Yogyakarta adalah wakil dari Turki Utsmani di Jawa, berdasarkan penelitian kearsipan Dr. Kadi yang telah lama meneliti dokumen-dokumen Turki Utsmani di Arsip Utsmani di Istanbul.