GUS DUR pernah membuat joke tentang polisi. “Hanya ada tiga polisi jujur,” ujarnya, “yaitu patung polisi, polisi tidur, dan, Hoegeng.” Hoegeng adalah Kapolri yang memang dikenal jujur dan anti korupsi.
Mengejutkan. Baru kini, saya diundang dalam acara sastra di kantor kepolisian. Tepatnya di Polresta Tegal, dalam acara peluncuran buku sastra terbitan Perpusda Kota Tegal. Lebih mengejutkan lagi, di samping saya pembicaranya Kapolres Rahmad Hidayat.
Saya baru tahu, ternyata di institusi Polri ada rekruitmen mahasiswa bahasa. Yakni untuk program hubungan internasional, menyusun makalah atau pidato, dll. Dan Rahmad Hidayat adalah mahasiswa sastra Inggris yang diterima dalam rekruitmen itu.
Pucuk dicinta ulam tiba. Dalam bahasan saya, saya mengidealkan Polresta Tegal bisa menjadi pelopor polres se Indonesia. Ialah dengan menciptakan kantor polisi berbasis budaya. Antaralain dengan membuka perpustakaan, memajang lukisan.
Juga membuat panggung kesenian, dan setiap bulan mengadakan pentas seni. Kalau perlu polisi membaca puisi. Secara guyon saya pun usul, kalau ada anggota polisi tidak disiplin, hukumlah dengan cara menulis puisi. Kalau perlu: tulis sepuluh puisi dalam satu hari.
Dengan demikian, lanjut saya, akan tercipta polisi berbasis budaya. Budaya, khususnya sastra dan puisi, yang bisa menumbuhkan kehalusan akal budi. Satu dasar kemanusiaan yang tentu sangat berguna bagi polisi sebagai pelindung dan pelayan masyarakat.
Sehingga dengan demikian, diharapkan tidak akan terjadi kasus polisi melakukan kekerasan, hingga polisi menembak polisi.
Tutup saya, kasus polisi yang mencoreng institusi Polri hari-hari ini, di mata masyarakat seolah: dalam pendidikan kepolisian hanya diajarkan milterian dan menembak. Tidak ada pendidikan adab budaya.***