Sebab Musabab
By the way, mengapa sejumlah lembaga survei meramalkan PPP bakal tergelincir ke jurang degradasi pada Pemilu Serentak 2024? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memahami metode penelitian survei. Pada umumnya pengumpulan data proses riset dilakukan pada kurun tertentu dengan menggunakan metode multistage random sampling serta melibatkan sekian ratus atau ribu responden, dengan cara wawancara tatap muka, kuesioner atau handpone. Dengan margin of error penelitian antara 2-3 persen. Makin kecil margin error, validitas hasil penelitian makin akurat.
Masalahnya tidak terjelaskan apakah dari sekian sampel yang diambil data atau persepsinya berasal dari pengurus atau konstituen PPP. Selain itu, rentang waktu penelitian dengan hari H pemungutan suara, mengharuskan kita memahami hasil riset secara dinamis. Bukan statis atau stagnan. Itulah sebabnya, prediksi PPP terperosok ke jurang degradasi pada Pileg 2024, merupakan suatu kesimpulan tentatif. Artinya bisa terjadi atau tidak terjadi. Bisa tetap dan bisa juga berubah,
Salah satu faktor yang mempengaruhi kesimpulan riset, mungkin karena Pileg 2014 digelar bersamaan dengan Pilpres 2014. Kala itu suara PPP pada Pemilu mampu menembus 8.152.957 atau 6,53 persen. Dengan tambahan suara tersebut, kursi DPR yang diraih bertambah satu dibanding pemilu sebelumnya, menjadi 39 kursi. Sementara pada Pileg 2019, PPP terjun bebas menjadi 6.323.147 atau 4,52 persen. Dengan jumlah suara tersebut, PPP hanya mampu menempatkan 19 kadernya menjadi anggota DPR RI. Hingga PPP menjadi partai paling sedikit anggotanya di parlemen dibanding delapan partai lainnya. Trend penurunan suara/kursi yang demikian drastis tersebut bisa jadi mempengaruhi persepsi atau opini responden ketika menjawab pertanyaan tentang elektabilitas PPP.
Faktor lainnya dikontribusi karena maraknya pemberitaan seputar konflik internal. Sebaliknya hal-hal positif mengenai PPP, menjadi tenggelam. Adalah benar PPP merupakan partai yang tidak perrnah sunyi dari konflik sejak kehadirannya di pentas politik nasional. Pada 2014 misalnya, PPP didera konflik internal pada masa kepemimpinan Ketua Umum Suryadharma Ali (SDA) karena perbedaan dukungan dari para elite partai terhadap calon presiden di masa itu.
Lalu SDA mundur dari Ketua Umum PPP karena tersangkut kasus korupsi. Selanjutnya, pada 2015-2017, konflik internal PPP bertambah parah dengan terjadinya dualisme kepemimpinan antara Djan Farids dan Romahurmuziy. Potret PPP tambah kusam saat Romahurmuziy juga mengalami nasib sial dengan tersangkut kasus korupsi. Sehingga pada Pemilu 2019 perolehan kursi PPP makin mengecil dan nyaris tidak lolos PT.