Scroll untuk baca artikel
Blog

PPP dan Proyek Stigmatisasi Lembaga Survei

Redaksi
×

PPP dan Proyek Stigmatisasi Lembaga Survei

Sebarkan artikel ini

Untuk menyelamatkan PPP,  tampuk pimpinan PPP beralih ke tangan Suharso Monoarfa (Sumo) sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Partai PPP berdasarkan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Hotel Seruni, Bogor, Jawa Barat, Rabu (20/3/2019). Lalu pada Muktamar IX PPP 2020 mengukuhkannya sebagai Ketua Umum Periode 2020-2025 dan Ketua Tim Formatur. Tetapi di masa kepemimpinan Sumo,  PPP juga tidak sunyi dari konflik. Sialnya lagi, Sumo terkena kasus keselo/terkilir lidah (slip of tonge) saat berpidato di acara yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang  menyinggung ada tradisi ‘amplop untuk kiai’.

Meskipun Sumo yang juga Menteri PPN/Kepala Bappenas telah meminta maaf dan memberikan klarifikasi pada kiai dan para pihak yang tersinggung, gelombang protes yang menuntut pengunduran dirinya terus menggema hingga ke pelbagai daerah. Suharso akhirnya diberhentikan sebagai Ketua Umum oleh Majelis Tinggi DPP. Hingga akhirnya, melalui Rapat Pengurus Harian DPP PPP,  menunjuk Muhammad Mardiono sebagai Plt Ketua Umum PPP menggantikan Suharso Monoarfa dari jabatan Ketua Umum PPP Masa Bakti 2020-2025.

Sejumlah manuver politik yang dilakukan oleh Sumo dengan membangun Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama Golkar dan PAN menjelang Pilpres 2024 pada Kamis (12/5/2022) dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Golkar Airlanggga di satu sisi dan disi sisi lain respon Mardiono terkait isu yang sama menimbulkan pro dan kontra. Sementara konsolidasi struktural, wawasan, fungsional serta program partai hampir di semua hirarki kepengurusan berlangsung terseok-seok. Opini dan persepsi buruk inilah yang kemudian terjaring oleh lembaga survei. Sehingga menghasilkan simpulan: PPP berada di pusaran partai yang berpotensi masuk zone degradasi pada Pileg 2024.

Kepemimpinan dan Manajemen

Manakala yang diinginkan adalah membalikkan kesimpulan hasil riset SMRC dan kawan-kawannya dari kenyataan buruk beralih kepada kenyataan indah di Pileg 2024,  jajaran kepengurusan elit PPP harus  memiliki kekuatan pada visi dan konsepsi, narasi besar serta mampu diturunkan dengan aksi-aksi konkrit. Untuk itu, PPP memerlukan pembenahan pada model atau pola kepemimpinan partai yang mampu mengintegrasikan potensi penngurusnya dan pendukungnya, melalui manajemen partai yang profesional, transparan dan akuntabel.  Serta konsolidasi kepengurusan partai dari mulai tingkat pusat, cabang bahkan hingga ranting.

Jangan sampai mesin partai partai, terutama  jelang Pemilu mengalami gangguan dan kerusakan, apalagi mengalami disfungsional. Sementara yang lebih berfungsi atau bekerja hanyalah para calon legislatif (caleg), apakah itu di DPR maupun DPRD. Tapi mengenai terjadinya rivalitas internal caleg bukan hanya karena kemauan caleg itu sendiri. Digunakannnya sistem proporsional terbuka dimana penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, ikut andil dalam melahirkan kondisi ini. Akumulasi berbagai faktor tersebut dan banyak lagi faktor lainnya, menyebabkan perolehan suara/kursi PPP pada Pileg 2019 mengalami kemerosotan tajam.  Ke depannya harus dilakukan kombinasi, kolaborasi dan sinerjitas antara fungsi struktural dan mesin partai serta mesin caleg.