Sebagai partai historis dan berpengalaman, bisa dikatakan PPP sudah teruji dan terbukti dalam mengaktualisasikan fungsi partai sebagai pengatur dan pengendali konflik. Jika tidak, PPP secara organisasi sudah terpecah belah. Tetapi untuk menjawab tantangan dan kebutuhan kepartaian dan bangsa di masa depan, ada ekspektasi besar dari pendukung dan simpatisannya agar partai ini mampu menstranformasi konflik menjadi faktor dinamika internal (inner dynamic). Bahkan kini umat makin merindukan PPP untuk berfungsi secara otentik dan efektif sebagai alat dan saluran aspirasi umat terdepan yang konsisten (istiqomah) dalam menegakkan amar ma’ruh nahi munkar dalam segala aspek.
Harus dipahami dan disadari, basis kekuatan utama PPP sesungguhnya masih berasal dari tokoh senior, ulama maupun konstituen loyal yang memiliki ikatan historis dan ideologis dengan fusi partai politik Islam pada 5 Januari 1973. Meminjam kerangka teori Edwars Aspinal tentang agensi, pendukung lawas PPP tersebut, masih dapat diandalkan sebagai vote getter andal guna mengembalikan citra partai atau meraup suara di Pemilu tanpa harus terlalu dimobilisasi dan diiming-imingi dengan pendekatan pragmatis. Dan ini berbeda dengan karakteristik pendukung PPP dari kalangan generasi baru dan terutama dari kalangan milenial yang tidak memiliki ikatan ideologis. Kalangan ini acapkali memiliki gejala sensate democracy (demokrasi sensasional). Dimana partisipasi politiknya terkadang fluktuatif, spekulatif, dan kondisional. Karenanya konstituen lawas partai harus dirangkul, dipelihara dan dirawat dengan baik.
Sementara itu, gebrakanPPP merekrut kalangan profesional di luar kader murni merupakan langkah cerdas, tepat dan menjadi suatu keniscayaan. Sebab bagaimanapun mereka memiliki modal intelektual, sosial, jaringan, kapital, dan sebagainya. Dengan segala modal tersebut mereka mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan berbagai potensi peraturan perundangan Pemilu maupun konstelasi serta kontestasi politik saat ini untuk kepentingan penguatan strategi kampanye dan pemenangan Pemilu. Meskipun demikian, keberadaan mereka di partai berpotensi mubazir, manakala tidak dimanfaatkan dan didayagunakan secara konkrit, efektif, dan maksimal.
Rebranding Partai
Hal lain yang tidak kalah penting diinsyafi, jajaran elit PPP harus memahami bahwa saat ini berada di era perang opini berbasis digital (cyber war atau virtual war). Dengan menggunakan teori hypodermic needle (teori jarum suntik), bullet theory (teori peluru) teori framing (pembingkaian) yang secara umum bermakna bahwa informasi diluncurkan melalui media massa mempunyai efek sangat kuat terhadap khalayak, hasil survei SMRC dan kawan-kawannya juga bisa mempengaruhi persepsi dan opini publik sehingga seolah-olah menjadi realitas dan benar. Agar teori hypodermic needle, bullet theory, atau teori framing tidak berdampak negative terhadap PPP, partai berlambang Ka’bah ini perlu melakukan rebranding partai dengan memanfaatkan teknologi digital, terutama multi media dan media sosial. Terlebih pada Pemilu Serentak 2024, 50-60 persen didominasi pemilih milenial dari total pemilih.