7. Prinsip mengagungkan ilmu
Seorang santri (pelajar) tidak akan memperoleh kesuksesan ilmu dan tidak pula ilmunya dapat manfaat, selain jika mau mengagungkan ilmu itu sendiri, ahli ilmu dan menghormati keagungan gurunya. Ada dikatakan:” Dapatnya orang mencapai sesuatu hanya karena mengagungkan sesuatu itu, dan gagalnya juga hanya karena tidak mau mengagungkannya”.
Mengagungkan ilmu maksudnya memandang ilmu sebagai sesuatu yang agung, sebagai sarana mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, bukan sebagai hasil kajian pemikiran belaka. Keberhasilan santri dalam memperoleh ilmu tergantung kesucian hati, restu atau berkah kiai dan upaya-upaya ritual yang lain, seperti puasa, shalat sunah, doa-doa dan sebagainya.
8. Prinsip restu kiai-kiai
Prinsip ini sudah menjadi pedoman para santri, bahwa semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga pesantren sangat tergantung pada restu kiai. Baik ustadz maupun santri berusaha jangan sampai melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hadapan kiai.
Dalam pendidikan pesantren, kiai adalah sosok yang diagungkan dan mempunyai pengaruh yang dominan disetiap kegiatan yang ada di pesantren, karena segala sesuatu yang akan dilakukan oleh santri harus mendapat restu dari kiai untuk mendapatkan keberkahannya.
9. Prinsip estafet
Dalam sistem pendidikan pesantren, semua tanggung jawab tidak menjadi tanggungan kiai, melainkan dibantu oleh santri-santri senior yang dianggap mampu. Mereka mewakili kiai untuk membimbing santri baru.
Ada beberapa keuntungan yang bisa didapat dari model pendidikan seperti ini, antara lain:
1. Santri merasa mendapat kepercayaan dari kiainya sehingga tumbuh rasa tangggung jawabnya.
2. Santri mendapat pengalaman secara kongkrit, hal itu penting untuk bekal mereka saat kembali ke masyarakat kelak.
3. Santri mendapat kesempatan berlatih mengaktualisasikan ilmunya secara baik dan maksimal.
10. Prinsip hubungan orang tua dan anak
Dalam pendidikan pesantren, ada kaitan yang erat antara kiai dan santri. Ikatan tersebut lebih bersifat emosional dan akan terus terjalin meski santri telah menyelesaikan pendidikannya.
Sedemikian eratnya, sehingga hubungan antara kiai dan santrinya bukan lagi hubungan guru dan murid, melainkan hubungan orang tua dengan anaknya. Demikian pula hubungan antara sesama santri bukan lagi hubungan pertemanan, melainkan hubungan persaudaraan.
Dengan hubungan yang demikian, maka akan sangat membantu santri dalam menguasai ilmu, karena tumbuh rasa percaya diri dan rasa tentram dalam diri santri.
11. Prinsip kebebasan terpimpin
Seperti prinsip-prinsip di atas, prinsip ini digunakan di pesantren dalam menjalankan kebijaksanaan kependidikannya. Dalam kehidupan sosial, individu juga mengalami keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan kultural maupun struktural. Namun demikian, manusia juga memiliki kebebasan mengatur dirinya sendiri.
Atas dasar itu pesantren memperlakukan kebebasan dan keterikatan sebagai hal kodrati yang harus diterima dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya dalam kegiatan belajar-mengajar.
Hal itu tercermin dari pandangan kiai bahwa kepada anak wajib ditanamkan jiwa agama, yang akan menjadi dasar kepribadiannya, tetapi pada saat menginjak dewasa, anak itu sendirilah yang akan memilih jalan hidupnya, apakah akan ingkar atau beriman dan bertakwa pada Tuhan.
Misalnya: seorang kiai berkeyakinan bahwa kesan pertama yang ditanamkan kepada santri akan mempengaruhi secara mendalam kepribadian selanjutnya.
Untuk itu sebelum mereka memasuki tingkat belajar yang lebih tinggi, kepada mereka diajarkan kitab-kitab awal seperti fiqih, tasawuf, takrib, dan Ta’limul Muta’alim dan sebelum itu santri dibiasakan mengikuti shalat, puasa dan sebagainya.